Rabu, 26 September 2012

EKSPLOITASI HUTAN JATI KPH NGAWI TAHUN 1999 – 2008


EKSPLOITASI HUTAN JATI KPH NGAWI TAHUN 1999 – 2008


ARTIKEL




Oleh :
YULINDA WAHYU H.D
084284046


UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
2012


EKSPLOITASI HUTAN JATI KPH NGAWI TAHUN 1999 – 2008

ABSTRAK

YULINDA W.H.D

             Di Kabupaten Ngawi terdapat hutan jati yang sangat luas. Hutan tersebut dikelola dibawah kendali sebuah wadah yaitu, Kesatuan Pemangkuan Hutan Ngawi atau KPH Ngawi. Secara umum KPH Ngawi adalah salah satu KPH yang ada di Unit II Jawa Timur. Sebagai salah satu KPH terbesar di Jawa Timur dengan hutan jati yang berkualitas, maka KPH Ngawi ditetapkan sebagai Kelas Hutan Jati atau Perusahaan Produksi Jati.
            Wilayah hutan KPH Ngawi memiliki areal hutan jati yang sangat luas, sehingga pelaksanaan eksploitasi juga dilakukan secara besar – besaran dalam jumlah yang besar pula. Pada tahun 1999 saja tercatat hutan jati di wilayah KPH Ngawi seluas 45.849,27 hektar. Masalah eksploitasi hasil hutan juga tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Berdasarkan latar belakang yang ada maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai eksploitasi yang terjadi di KPH Ngawi dengan rentang waktu 1999 – 2008. Rumusan masalahnya adalah sebagai berikut, bagaimana eksploitasi hutan jati di KPH Ngawi tahun 1999 – 2008? dan bagaimana dampak eksploitasi hutan jati di KPH Ngawi terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan ekologi masyarakat sekitar hutan?. Penelitian ini adalah penelitian sejarah, oleh karena itu metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah, antara lain heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi untuk menelusuri sumber.
Hasil penelitian adalah sebagai berikut, eksploitasi yang berlangsung di KPH Ngawi memiliki serangkaian bentuk yang terinci dan terencana sesuai dengan pekerjaan yang terdapat dalam eksploitasi. Mulai dari eksploitasi hutan hingga tenaga kerja. Dampak atau pengaruhnya cukup besar bagi masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Di desa – desa hutan masyarakat hidup dengan mengandalkan sumber daya hutan. Pemanfaatan yang salah seringkali menimbulkan dampak yang merugikan bagi Perhutani KPH Ngawi dalam mengelola hutan. Oleh karena itu Perhutani memanfaatkan masyarakat sekitar hutan untuk menjadi tenaga kerja di hutan. Dari proses perekrutan tenaga kerja dari masyarakat sekitar hutan akan membawa dampak yang positif bagi masyarakat sekitar hutan dengan terbukanya lapangan pekerjaan yang mampu meningkatkan pendapatan mereka. Tindakan lain yang dilakukan oleh Perhutani KPH Ngawi adalah dengan memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat sekitar hutan dalam bidang kehutanan dan pemanfaatan sumber daya yang benar.
Kata Kunci : Eksploitasi, Hutan Jati, KPH Ngawi


Pendahuluan

Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa, mempunyai hutan hujan tropis yang luas dan lebat. Diantara hutan tropis tersebut, yang sangat terkenal adalah hutan kayu jati ( tectona grandis ), pohon yang tingginya mencapai 40 – 45 meter. Memiliki batang lurus dan percabangannya muncul jauh dari permukaan tanah. Oleh karena itu selama berabad – abad pohon jati telah dikenal dan memiliki nilai jual tinggi termasuk di atas semua jenis kayu di Eropa.
Penebangan hutan jati telah terjadi sejak abad ke-12 atau bahkan jauh sebelum itu. Pada masa kerajaan Majapahit eksploitasi kayu jati oleh armada laut kerajaan menjadi kapal dari kayu jati sebagai sarana angkutan. Pada waktu itu, sistem transportasi sungai masih lebih dominan dibanding sistem transportasi darat yang masih menggunakan hewan. Untuk mengontrol wilayah Majapahit yang luas, tentu harus didukung oleh armada laut yang kuat.
Pengelolaan dan eksploitasi hutan jati yang dilakukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda dimaksudkan untuk memasok bahan baku industri – industri kapal kayu milik pengusaha Cina dan Belanda yang tersebar di sepanjang pantai utara Jawa mulai dari Tegal, Jepara, Juwana, Rembang, Tuban, Gresik, sampai Pasuruan. Oleh sebab itulah pada masa tersebut industri kapal telah berkembang pesat di kota-kota pantai  yang menjadi kota industri terbesar.
Potensi hutan jati dari tahun ke tahun semakin menunjukan peningkatan yang pesat. Semakin banyak permintaan dalam jumlah besar terhadap kayu jati yang digunakan untuk industri maupun bahan bangunan membuat kayu jati semakin banyak dicari. Daerah – daerah penghasil kayu jati di Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi dan Bojonegoro menjadi pusat – pusat penghasil kayu jati pada saat ini. Di pulau jawa sebetulnya hanya dapat disebutkan satu jenis kayu saja yaitu  pohon jati (tectona grandis linn) yang hingga kini menjadi komoditi yang diperhitungkan.
Sebagai salah satu KPH terbesar di Jawa Timur KPH Ngawi memiliki peran penting dalam penghasil kayu jati di Jawa Timur. Pengelolaan hutan KPH Ngawi tersusun dan terencana sesuai dengan aturan pengelolaan hutan yang telah ditetapkan di KPH Ngawi. Mulai dari rencana jangka pendek hingga rencana jangka panjang dalam pengaturan hutan di wilayah KPH Ngawi. Eksploitasi yang berlangsung di wilayah hutan KPH Ngawi juga menjadi sorotan yang penting dalam sejarah pengelolaan hutan jati di wilayah KPH Ngawi. Hutan sendiri mempunyai arti yang fundamentil bagi manusia, baik untuk waktu lampau, sekarang dan yang akan datang. Memelihara dan melindungi hutan – hutan adalah kewajiban setiap bangsa.  Pemeliharaan hutan harus memperhatikan banyak hal. Eksploitasi hutan memerlukan banyak pekerjaan penyelenggaraan misalnya pembuatan jalan-jalan mobil, atau jalan – jalan rel.
Di KPH Ngawi, eksploitasi hasil hutan telah berlangsung lama dan telah melalui proses sejarahnya yang panjang dalam proses eksploitasi. Eksploitasi hutan di KPH Ngawi dapat dipisahkan menjadi empat tahap yaitu, persiapan tebangan, pelaksanaan tebangan, pengangkutan dan pengaturan hasil hutan di tempat penimbunan kayu (TPK).
Wilayah hutan KPH Ngawi memiliki areal hutan jati yang sangat luas, sehingga pelaksanaan eksploitasi juga dilakukan secara besar – besaran dalam jumlah yang besar pula. Pada tahun 1999 saja tercatat hutan jati di wilayah KPH Ngawi seluas 45.849,27 hektar. Masalah eksploitasi hasil hutan juga tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Di saat Indonesia mengalami kebakaran hutan paling parah pada tahun 1997/1998, pada waktu yang bersamaan terjadi pula krisis keuangan yang membawa dampak mengerikan pada aspek ekonomi, sosial dan politik diseluruh kehidupan negara khususnya penduduk Jawa pasca reformasi. Hal ini disebabkan karena penduduk Jawa sangat padat dan tingkat pendapatan penduduk di sekitar hutan sangat rendah, sehingga sebagian besar masyarakatnya mengandalakan sumber daya hutan untuk memebuhi hidupnya. Selain itu dalam proses eksploitasi hasil hutan adalah dengan mengikutsertakan sebanyak – banyaknya masyarakat sekitar hutan. Faktor geografis Kabupaten Ngawi juga mempengaruhi mobilitas penduduk karena letak hutan di wilayah KPH Ngawi yang strategis yang juga dilalui sungai Bengawan Solo merupakan jalur yang seringkali digunakan untuk lalu lintas perdagangan kayu dari Ngawi ke daerah lain yang dialiri Bengawan Solo. Selain itu Kabupeten Ngawi merupakan jalur penghubung antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Karena KPH Ngawi merupakan KPH yang cukup besar dalam produksi kayu jati dengan segala macam pengelolaannya hingga eksploitasi yang terjadi dari masa kolonial, kemerdekaan, orde lama, orde baru, reformasi, pasca reformasi hingga masa demokrasi maka, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang  eksploitasi hutan jati di KPH Ngawi pada tahun 1999 – 2008.

Keadaan Geografis dan Iklim KPH Ngawi
Letak geografis kabupaten Ngawi adalah 7ْ 21 -  7ْ 31 LS dan 110ْ 10 - 111ْ 40 LS. Secara administrasi wilayah di Kabupaten Ngawi terbagi menjadi 17 kacamatan dan 217 desa, dimana empat dari 217 desa tersebut merupakan kelurahan. Secara umum kabupaten Ngawi memiliki topografi wilayah berupa dataran tinggi dan tanah datar. Tercatat empat kecamatan terletak pada dataran tinggi yaitu Sine, Ngrambe, Jogorogo dan Kendal yang terletak di kaki gunung Lawu. Batas wilayah Kabupaten Ngawi adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara              : Kabupeten Grobogan, Kabupaten Blora dan Kabupaten Bojonegoro
Sebelah Timur             :  Kabupaten Madiun
Sebelah Selatan           :  Kabupaten Madiun dan Kabupaten Magetan
Sebelah Barat              :  Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sragen
Kabupaten Ngawi sebagian besar berada di sekitar pegunungan kendeng yang membujur hampir di seluruh pulau jawa. Sungai yang melewati wilayah kabupaten Ngawi adalah Bengawan Solo dan memiliki anak sungai yang melintasi wilayah Kedunggalar dan Walikukun. Keberadaan sungai tersebut pada awalnya mempunyai peranan penting dan merupakan satu – satunya jalan angkutan dari KPH Ngawi untuk sarana angkutan hasil hutan. Namun dengan berkembangnya angkutan lewat darat, baik lori maupun mobil, peranan Bengawan Solo sebagai jalan angkutan hasil hutan berangsur – angsur menjadi berkurang sampai akhirnya hilang sama sekali.
Kesatuan Pemangkuan Hutan Ngawi merupakan salah satu unit bisnis Perum Perhutani Unit II Jawa Timur yang berkedudukan di Kota Ngawi. Wilayah hutan yang dikelola oleh KPH Ngawi seluas 45.912,2 Ha. Areal hutan tersebut sebagian besar terletak di wilayah kabupaten Ngawi, sedangkan sebagian lagi terletak di wilayah kabupaten Madiun, Magetan, Bojonegoro dan Blora.
Batas – batas kawasan KPH Ngawi dengan kawasan dari KPH di sekitarnya dapat digambarkan sebagai berikut :
Sebelah Utara              : berbatasan dengan KPH Gundih, KPH Padangan, dan KPH Randublatung
Sebelah Timur             :  berbatasan dengan KPH Saradan, dan KPH Madiun
Sebelah Selatan           :  berbatasan dengan KPH Madiun dan Lawu Ds
Sebelah Barat              :  berbatasan dengan KPH Surakarta
            KPH Ngawi terletak pada jalur ekonomi yang strategis dengan intensitas perhubungan yang tinggi dan lancar karena dilintasi oleh jalan raya dan jalan kereta api yang menghubungkan kota Madiun dan Surakarta. Kedua kota tersebut merupakan penyerap hasil hutan KPH Ngawi yang cukup besar. Hasil hutan tersebut berupa kayu pertukangan, kayu bakar maupun hasil hutan lainnya. Masyarakat di sekitar hutan KPH Ngawi sudah terbiasa untuk menjual kayu bakar ke wilayah Surakarta dengan menggunakan angkutan mobil  maupun kereta api.
Kapasitas daerah setempat untuk menyerap hasil kayu pertukangan juga cukup besar, karena di sepanjang jalur jalan raya Ngawi – Banjarejo yang merupakan jurusan menuju Surakarta banyak terdapat perusahaan – perusahaan laadbak. Wilayah Ngawi sebelah timur banyak terdapat tempat pembakaran gamping yang memerlukan kayu bakar untuk bahan bakar dalam produksi pembuatan gamping. Selain itu di Ngawi sebelah selatan terdapat pabrik gula yang besar yaitu pabrik gula Soedhono yang juga membutuhkan kayu bakar untuk bahan bakar dalam produksi gula, bahkan sekitar  7 km di sebelah selatan pabrik gula Soedhono juga terdapat sebuah pabrik gula lagi yaitu pabrik gula Purwodadi.
KPH Ngawi dilewati oleh jalan kereta api jurusan Madiun – Surakarta. Sejak tahun 1979 Perhutani sudah tidak menggunakan jalan tersebut untuk kepentingannya. Namun, jalan tersebut tetap berperan penting karena jalan kereta api tersebut digunakan oleh pihak lain untuk pengangkutan hasil hutan dari KPH Ngawi ke Madiun atau Surabaya ke arah Timur, dan ke arah barat yaitu Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Bandung dan Jakarta. Perhutani KPH Ngawi sendiri memiliki jalan – jalan lori yang cukup panjang. Pada tahun antara 1974 – 1979 jalan – jalan lori KPH Ngawi ini memiliki peran yang sangat penting dalam pengangkutan hasil hutan. Akan tetapi semenjak tahun 1979 hingga saat ini jalan lori tersebut tidak lagi dipergunakan karena banyak lori yang berangsur – angsur mengalami kerusakan dan peranan lori digantikan oleh jalan – jalan mobil atau melalui jalan darat.
Sejarah Pengelolaan Hutan Jati KPH Ngawi
Pengelolaan hutan jati di KPH Ngawi telah mengalami banyak perubahan mulai masa kolonial Belanda hingga sekarang. Latar belakang dari pengelolaan hutan jati di KPH Ngawi tidak lepas dari pengelolaan hutan di Jawa yang sudah ada sejak jaman VOC hingga masa pemerintahan kolonial Belanda. Menurut Simon (2005) sejarah pengelolaan hutan di Indonesia melalui 2 tahap yaitu tahap timber extraction ( tahun 800 – 1800 ) dan tahap timber management ( tahun 1800 – sekarang ). Dalam tahap timber extraction terjadi penebangan kayu khususnya jati di Jawa untuk tujuan kepentingan ekonomi Belanda. Sedang tahap timber management bertujuan memperbaiki hutan (terutama hutan jati di Jawa) yang telah mengalami kerusakan pada waktu masa timber extraction. Pada tahap ini telah diterapkan berbagai konsep pengelolaan dan penataan hutan antara lain konsep planning unit dan management unit dalam rangka menjamin kelestariannya.
 Dapat dikatakan bahwa pengelolaan hutan secara modern pertama di Indonesia berawal dari pengelolaan jati di Jawa ini. Sejak pertengahan hingga akhir abad ke 19, pemerintah kolonial Belanda menetapkan daerah – daerah bukan pertanian dan bukan perkebunan sebagai kawasan hutan untuk ditanami dengan jati. Kawasan hutan terbatas pada tempat – tempat yang kurang subur dan curam serta terletak jauh dari pusat – pusat pemukiman. Sebuah Undang – Undang Kehutanan diperkenalkan pada tahun 1865. Undang – Undang itu menghapuskan bentuk – bentuk kerja paksa. Sedangkan pada tahun 1874 terbitlah Undang-Undang baru yang mencakup pernyataan Domain Verklaring, yaitu semua tanah termasuk kawasan hutan dikuasai dan diurus oleh Negara. Enam tahun kemudian, hutan – hutan produksi jati di Jawa telah dibagi menjadi 13 distrik hutan jati dibawah perusahaan yang disebut Djatibedrijf (Perusahaan Jati Negara). Rencana perusahaan jati pertama selesai dibuat pada tahun 1890 dibawah pimpinan rimbawan A.E.J Bruinsma. Tujuh tahun kemudian terbentuklah Houtvestrij pertama, sementara yang terakhir dibuat sekitar tahun 1932. Houtvestrij merupakan pengelompokan luas lahan hutan tertentu sebagai suatu satuan perencanaan daur produksi, yaitu sejak tahap menanam pohon, ke tahap pemeliharaan, hingga ke tahap pemanenan. Houtvestrij kini dikenal sebagai KPH ( Kesatuan Pemangkuan Hutan ). Berpindahnya  pengelolaan hutan dari VOC ke tangan pemerintah Kolonial Belanda pada sekitar tahun 1808, tidak menjadikan hutan jati lebih baik nasibnya. Hingga awal abad ke 20, eksploitasi tidak teratur dan kerusakan – kerusakan hutan terus terjadi. Baru sekitar abad ke 20 diletakkan dasar – dasar pengelolaan jati modern yaitu, pembagian atas satuan – satuan wilayah pengelolaan hutan, penataan hutan, pengaturan hasil, dan penelitian – penelitian mengenai hutan. Pada tahun 1930 mulai diketahui daftar luas hutan jati di Jawa secara pasti sebagai hasil kerja dinas Tata Hutan. Luas hutan Jawa pada tahun 1933 seluas 801.052 Ha dan pada akhir tahun 1940 seluas 824.049 Ha, dimana 95 % dari luas tersebut sudah ditata batas secara permanen.
Pasca kemerdekaan, pengelolaan hutan jati di Jawa dialihkan kepada Jawatan Kehutanan. Sejak tahun 1961 pengelolaam semua hutan di Jawa diluar cagar alam, suaka margasatwa, hutan wisata, dan taman nasional dipercayakan kepada perusahaan pemerintah yaitu Perhutani.
Pengelolaan Hutan Jati KPH Ngawi
Sesuai dengan kondisinya, KPH Ngawi ditetapkan sebagai Kelas Perusahaan Jati. Secara umum potensi Produksi Sumber Daya Hutan Perum Perhutani dikelompokan menjadi tiga (3) bagian dasar , yaitu:
a.       Tegakan, berupa tegakan Jati, Pinus, Mahoni, Damar dan lain sebagainya.
b.      Bukan Tegakan, berupa getah pinus, getah damar, daun kayu putih, daun murbei, bambu, lak, kopi, cengkeh, kelapa, padi, rotan, sarang burung walet, madu, penangkaran hewan dan lain sebagainya.
c.       Potensi lain seperti, produksi air dan jasa lingkungan seperti air bersih, air irigasi, wisata hutan, agrowisata dan lain – lain.
Pengelolaan hutan jati di wilayah KPH Ngawi memiliki sejarah yang panjang dan terperinci mulai dari sejarah perusahaan, struktur organisasi, pengusahaan hingga hasil yang diperoleh dari pengusahaan tersebut. Seperti tersebut di atas bahwa struktur organisasi KPH Ngawi memiliki komponen – komponen penting dalam pengusahaan hasil hutan. Dalam pengusahaannya KPH Ngawi menempuh beberapa tahap sebelum dapat melakukan proses produksi dari hasil hutan di wilayah KPH Ngawi.
Proses yang pertama adalah melakukan penanaman, dalam proses penanaman harus memperhatikan beberapa tahap yaitu memperhatikan luas tanaman, biaya tanaman dan cara penanaman. Pembuatan tanaman dilaksanakan pada tanah kosong bekas tebangan habis biasa (tebangan A2) dan tanah kosong bekas tebangan pada lapangan yang tidak produktif (tebangan B).
Eksploitasi Hutan
            Pekerjaan eksploitasi hasil hutan di wilayah hutan KPH Ngawi dapat dipisahkan menjadi empat tahap yaitu, persiapan, pelaksanaan tebangan, pengangkutan dan pengaturan hasil hutan di tempat penimbunan kayu (TPK).
            Jenis pekerjaan dalam persiapan tebangan antara lain adalah pekerjaan teresan, pembuatan blok tebangan, pengukuran diameter dan penomeran pohon, pembuatan rumah babagan dan sebagainya.
            Kegiatan teresan merupakan salah satu rangkaian kegiatan sebelum penebangan, yaitu dengan mematikan pohon – pohon yang akan ditebang dengan maksud untuk memperoleh kwalitas produksi batang pohon yang baik serta memudahkan saat pemungutan dan pengangkutan produksi karena batang pohonnya telah mati dan kering. Teresan dilakukan khusus untuk Kelas Perusahaan Jati.
Eksploitasi Tenaga Kerja
Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia. Pengelolaan dan pemanfaatan hutan beserta hasilnya seyogyanya mempertimbangkan asas manfaat dan optimal, dalam arti untuk sebesar – besar kepentingan rakyat banyak. Selain itu juga harus memperhatikan dan menjaga kelangsungan fungsi hutan dalam upaya melestarikan lingkungan hidup. Oleh karena itu dalam proses pemanenan dan pemanfaatan hasil hutan harus menyertakan masyarakat sekitar hutan dalam pengerjaannya.
Eksploitasi yang terjadi di KPH Ngawi telah berlangsung dari tahun ke tahun dan memiliki proses yang hampir sama dalam pengerjaannya. Selama eksploitasi berlangsung komponen – komponen yang vital dan sangat diperlukan antara lain adalah alat – alat penebangan, angkutan, biaya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah tenaga kerja atau pada tahun 1965 ke belakang lebih dikenal dengan sebutan pekerja Blandong. Tenaga kerja dalam eksploitasi hutan jati di KPH Ngawi secara penuh menggunakan tenaga dari masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Latar belakang dari pemakaian tanaga masyarakat sebagai pekerja berawal dari tenaga kerja yang dipakai dalam pengusahaan hutan di jawa dilakukan dengan sistem padat karya atau lebih menggunakan tenaga manusia, sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Sistem eksploitasi yang dilaksanakan adalah sistem eksploitasi non mekanis, artinya eksploitasi tidak menggunakan tenaga mesin, tetapi lebih banyak menggunakan tenaga manusia.
Eksploitasi hutan jati yang berlangsung di wilayah hutan KPH Ngawi pada tahun 1999 – 2008 menjadi acuan dalam perencanaan dalam proses eksploitasi pada tahun berikutnya. Seperti telah disebutkan pada bab – bab sebelumnya bahwa komponen dari eksploitasi itu sendiri sangat banyak dan memerlukan perencanaan yang matang dalam pengerjaannya maka, KPH Ngawi juga tidak sembarangan dalam merencanakan segala sesuatu yang berhubungan dengan eksploitasi. Tenaga kerja yang diperlukan selama pelaksanaan eksploitasi akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan oleh KPH Ngawi. Oleh karena itu perincian dalam eksploitasi hasil hutan terutama hutan jati yang menjadi komoditi KPH Ngawi merupakan komponen yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Adanya program – program kehutanan yang berbasis masyarakat di KPH Ngawi tidak menyulitkan KPH Ngawi untuk mencari tenaga kerja dalam proses eksploitasi. Contohnya adalah program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Administratur  selaku pucuk pimpinan di KPH yang mewakili KPH Ngawi dan Bupati, wakil dari Pemerintah Kabupaten yang memiliki wilayah administratif, secara resmi telah menjalin kerjasama yang dituangkan dalam surat perjanjian PHBM. Pada intinya seua kegiatan diserahkan kepada masyarakat dalam hal non teknis, sedang rincian dan aturan kegiatan terdapat dalam surat perjanjian PHBM.
Jumlah tenaga kerja yang diperlukan selama proses eksploitasi sangat bervariasi menurut jenis pekerjaannya dan jenis hasil hutan yang dihasilkan. Pekerjaan tersebut dibedakan menjadi 3 jenis yaitu, tenaga kerja tebang dan pembikinan hasil hutan, tenaga kerja sarad dan tenaga kerja angkut. Keempat jenis pekerjaan tersebut memiliki tugas dan upah yang berbeda – beda.
Yang pertama yaitu tenaga kerja tebang, yang bertugas untuk menebang dan memotong kayu, serta membagi batang kayu kedalam sortimen – sortimen hasil hutan. Pekerjaan tebang diawasi langsung oleh seorang petugas yang khusus mengawasi proses tebang pohon yang disebut mandor tebang. Mandor tebang memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengawasan penebangan hingga pengangkutan. Teknik yang digunakan dalam penebangan harus diketahui secara baik oleh seorang mandor tebang. Seperti contoh teknik rebah pohon dan jarak tebang pohon. Upah yang diberikan selama tebangan tergantung pada kemampuan tenaga kerja untuk menebang banyaknya pohon dan mengangkutnya ke tempat penampungan – penampungan hasil hutan.
Berikutnya adalah tenaga kerja untuk pengangkutan yaitu, tenaga kerja yang bertugas sebagai pengangkut kayu dari tempat tebang ke tempat antara atau tempat penimbunan sementara (TPS). Tenaga kerja semacam ini biasanya menggunakan lori dan truk sebagai sarana pengangkutan kayu. Jika di Cepu pengangkutan kayu habis tebang menggunakan lori yang ditarik oleh lokomotif atau mesin,  berbeda dengan tenaga penggerak lori yang ada di KPH Ngawi. KPH Ngawi dalam menggunakan sarana pengangkut kayu dengan lori digerakkan oleh tenaga manusia. Dengan kapasitas sekali lori dilakukan oleh 4 sampai dengan 6 orang sebagai tenaga penggerak. Volume atau jumlah kayu yang diangkut dalam satu kali lori sebanyak 5³ kayu jati. Akan tetapi, dewasa ini pekerjaan eksploitasi dengan menggunakan tenaga lori dan sarad mulai digantikan dengan alat yang lebih modern dibanding tahun – tahun sebelumnya. Sebagai tenaga angkut lori sudah tidak diberlakukan lagi mengingat semakin  banyaknya alat transportasi yang lebih efektif seperti truk, baik truk Perhutani maupun swasta.
Tenaga kerja yang terakhir yaitu, tenaga kerja pembikinan hasil hutan. Tenaga kerja ini dibayar berdasarkan hasil pekerjaannya dalam pembikinan hasil hutan. Tenaga kerja  dalam proses eksploitasi memanfaatkan masyarakat desa hutan yang telah ahli dibidangnya. Berikut ini merupakan data mengenai keterlibatan masyarakat desa hutan dan jumlah pendapatan yang didapat selama mengikuti program dari Perhutani:
Ksimpulan
            Dari seluruh uraian yang dipaparkan dalam studi ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Kesatuan Pemangkuan Hutan Ngawi merupakan salah satu KPH memiliki areal hutan yang luas dan telah ditetapkan sebagai hutan produksi atau Kelas Perusahaan Jati ( tectona grandis ).
            Eksploitasi  di KPH Ngawi telah berlangsung lama dan memiliki sejarah yang panjang dalam prosesnya, khususnya pada tahun 1999 – 2008. Adanya Undang – Undang baru tentang kehutanan yaitu, Undang – Undang Kehutanan No.41 Tahun 1999 menjadikan sistem pengelolaan hutan di Jawa khususnya menjadi berubah.
               KPH Ngawi dalam melakukan eksploitasi memanfaatkan tenaga kerja yang berasal dari masyarakat karena sebagian besar hutan yang dimiliki oleh KPH Ngawi merupakan hutan yang disekitarnya terdapat desa – desa hutan tempat tinggal masyarakat sekitar. Oleh karena itu untuk lebih efisen KPH Ngawi memanfaatkan tenaga dari masyarakat sekitar hutan untuk melakukan pekerjaan hutan dan sebagian dari mereka merupakan pekerja ahli dalam bidang pekerjaan hutan.

 
            Program – program kemasyarakatan yang diterapkan oleh KPH Ngawi seperti PHBM dirasa telah mampu membawa manfaat yang besar bagi masyarakat sekitar hutan pada khususnya karena kerjasama yang dijalin antara Perhutani KPH Ngawi dengan masyarakat membawa keuntungan bagi masyarakat itu sendiri maupun Perhutani KPH Ngawi.
               Pekerjaan yang diberikan kepada masyarakat desa hutan telah mendatangkan manfaat yang besar dalam bidang ekonomi. Setiap pekerjaan yang diberikan oleh Perhutani Ngawi memiliki upah yang berbeda – beda yang disesuaikan dengan tingkat kesulitan pekerjaannya. Berbagai penyuluhan yang diberikan oleh KPH Ngawi dalam rangka menjaga kelestarian hutan seperti memberikan pengetahuan kepada masyarakat sekitar hutan dalam hal tanaman dan pemanfaatannya tanpa harus merusak lingkungan.
               Dampak dari pengusahaan hutan yang dilakukan oleh KPH Ngawi telah menimbulkan pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah masyarakat diberikan ijin untuk menggunakan lahan di tegakan jati muda dengan menanam tanaman sela atau tumpangsari. Sedangkan pengaruh negatifnya adalah kurang memahami tentang aturan penanaman tanaman sela yang benar dan akibatnya dapat merusak tanaman pokok yaitu jati, terjadinya banjir dan tanah longsor karena menurunnya fungsi hutan. Selain itu karena tingkat pendapatan yang cenderung statis sedangkan kebutuhan meningkat membuat masyarakat di sekitar hutan melakukan pencurian kayu di hutan tanpa memperhatikan akibatnya.
               KPH Ngawi telah berupaya untuk menanggulangi segala dampak negatif yang mungkin terjadi selama pengelolaan hutan terlebih dalam proses eksploitasi. Akibat eksploitasi hutan akan meninggalkan lahan kering yang menyebabkan erosi. Selain itu akibat penjarahan hutan pada tahun 1997 hingga 2003 di bagian hutan Ngandong telah membawa dampak kerusakan lingkungan yang cukup parah di wilayah hutan KPH Ngawi. Oleh sebab itu Perhutani KPH Ngawi telah memberikan solusi guna menanggulangi dampak tersebut dengan menanam tegakan baru dengan tehnik dan metode yang berlaku di bidang kehutanan agar keseimbangan alam tidak terganggu. Selain itu tujuan dari Perhutani KPH Ngawi adalah untuk mewujudkan hutan lestari dan menjadi pengelola hutan lestari untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.

Jong Java (Perubahan Arah Jong Java dari Non Politik ke Politik Persatuan Indonesia, Tahun 1918-1930)


Jong Java
(Perubahan Arah Jong Java dari Non Politik ke Politik Persatuan Indonesia, Tahun 1918-1930)

ARTIKEL



Oleh :
Dwi Indrawati
NIM. 084284034
                                                                                       

                                 UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
2012

Jong Java (Perubahan Arah Jong Java dari Non Politik ke Politik Persatuan Indonesia, Tahun 1918-1930)

ABSTRAK

DWI INDRAWATI

Sejak tahun 1908-1925 di Indonesia bermunculan organisasi modern dikalangan elite pelajar seperti Budi Utomo yang pada masanya menjadi organisasi modern pertama, dengan munculnya Budi Utomo menjadi contoh di kalangan pelajar muda untuk mendirikan organisasi kepemudaan. Karena Budi Utomo merupakan organisasi golongan tua, sehingga para pemuda juga bergegas perlu adanya organisasi bagi para pemuda. Organisasi kepemudaan seperti Jong Java (Tri Koro Dharmo) merupakan salah satu organisasi yang masih bersifat kedaerahan. Jong Java memiliki peran dan pengaruh yang besar terhadap penyatuan pemuda. Pada awal berdirinya tahun 1915, organisasi ini bergerak di bidang sosial,pendidikkan, budaya dan olah raga, namun seiring dengan perkembangan semangat nasionalisme untuk lepas dari pengaruh Belanda, Jong Java mulai terpengaruh dengan aktifitas politik untuk memperoleh kemerdekaan, karena untuk memperoleh kemerdekaan perlu ikut serta dalam aktifitas politik. Pada tahun 1925, Jong Java mulai terpengaruh dengan aktifitas politik yang menjadi awal perubahan arah Jong Java dari non politik ke politik persatuan Indonesia. Perubahan arah tersebut menjadi hal yang menarik untuk diteliti, karena perubahan arah yang dilakukan Jong Java belum ada yang mengulas secara detail. Dari latar belakang di atas muncul dua rumusan masalah: pertama mengapa Jong Java melakukan perubahan dari non politik ke politik persatuan Indonesia, kedua Bagaimana aktivitas politik Jong Java dalam upaya menuju penyatuan organisasi-organisasi kepemudaan Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang diawali dengan tahap heuristik, dalam tahap ini  melakukan pengumpulan sumber atau data berupa koran sejaman dan buku yang terkait, kemudian data tersebut diuji kevaliditasannya dengan kritik intern yaitu pengujian dari isi data dan mengubah data menjadi fakta, kemudian fakta-fakta yang terkumpul diinterpretasikan dengan kronologis antara fakta yang satu dengan yang lain, dan ditahap historiografi dihasilkan sebuah laporan dari hasil penelitian sejarah tentang “ Jong Java (Perubahan arah Jong Java dari non politik menjadi politik Persatuan Indonesia Tahun 1918-1930)”.
            Dari hasil penelitian yang  telah di lakukan penulis, maka ditemukan beberapa poin yang dapat dijadikan jawaban atas rumusan masalah diatas. Jong Java merupakan organisasi non politik dan masih bersifat kedaerahan, dan tujuan  awalnya untuk menyatukan Jawa Raya saja. Perubahan ke arah politik untuk menciptakan persatuan diantara bangsa Indonesia, dan tujuannya berubah menjadi persatuan Indonesia Raya yang menjadi langkah awal untuk melawan pemerintahan Belanda.  Jong Java melakukan perubahan ke arah politik karena adanya pengaruh dari Persatuan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang mempunyai pandangan dibentuknya fusi dari berbagai organisasi yang masih bersifat kedaerahan dan bersatu untuk mencapai kemerdekaan. Jong Java sebagai organisasi besar dan berpengaruh dalam kesadaran nasional khususnya di kalangan pemuda, keikutsertaan Jong Java dalam kongres pemuda mendorongnya untuk ikut dalam aktifitas politik dan ikut berfusi menjadi hasil dari perjuangannya untuk mencapai persatuan Indonesia.

Kata kunci: Jong Java, politik, persatuan Indonesia


Pendahuluan

Studi sejarah yang membahas masalah pergerakan nasional memang banyak yang mengulas, terutama masalah Budi Utomo yang menjadi organisasi modern pertama. Kelahirannya pada 20 Mei 1908 yang dikenal dengan kebangkitan nasional menjadikan organisasi ini sebagai pelopor organisasi modern, namun tidak banyak yang mengulas organisasi pemuda yang terinspirasi dari organisasi modern tersebut untuk dijadikan bahan penelitian sejarah. Ulasan tentang organisasi pemuda hanya sebagai pelengkap dari perkembangan kebangkitan nasional, sehingga perlu adanya keterangan yang lebih lanjut untuk mengungkap pengaruh organisasi kepemudaan yang juga berpengaruh dalam perkembangan kesadaran atau kebangkitan nasional. Organisasi yang mereka bentuk di harapkan dapat berfungsi sebagai penengah solidaritas sosial, penyalur cita-cita dan pemupuk cita-cita mereka.
Membahas masalah organisasi kepemudaan terutama pada tahun 1915-1926 tidak lepas dari Tri Koro Dharmo, karena organisasi ini merupakan organisasi kepemudaan pertama yang lahir. Atas prakarsa Dr.R. Satiman Wirjosandjojo , Kadarman, Sunardi dan beberapa pemuda lainnya bermufakat untuk mendirikan suatu perkumpulan pemuda yang beranggotakan pelajar-pelajar sekolah menengah yang berasal dari Jawa dan Madura yang sedang mengenyam pendidikan di Jakarta. Pada tanggal 7 Maret 1915 perkumpulan tersebut diberi nama Tri Koro Dharmo yang mempunyai tujuan ingin mencapai Jawa Raya dengan jalan memperkokoh rasa persatuan antara pemuda Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Lombok.
Tri Koro Dharmo ini menjadi penggerak organisasi kepemudaan yang mendorong para pemuda daerah lainnya seperti Sumatra, Ambon dan lain-lain untuk mendirikan organisasi kepemudaan yang juga didasarkan atas sifat kedaerahan. Munculnya Jong Sumatranen bond, Jong Ambon, Jong Celebes dan lain-lain, organisasi-organisasi tersebut lahir untuk menciptakan solidaritas atau persatuan di antara para pelajar dari setiap daerah masing-masing, selain itu mereka juga ingin menunjukkan identitas daerahnya melalui pelestarian budaya dari setiap daerah. Rasa persatuan memang sudah ada, namun masih bersifat kedaerahan, dalam perkembangan organisasi-organisasi kedaerahan tersebut menyadari perlunya rasa persatuan Indonesia.
Berkembangnya organisasi kepemudaan, mendorong untuk melakukan penelitian terhadap organisasi kepemudaan lebih lanjut. Disini penulis berminat melakukan penelitian  terhadap Jong Java, karena organisasi ini merupakan organisasi kepemudaan pertama yang mempunyai pengaruh besar terhadap persatuan organisasi-organisasi kepemudaan Indonesia, selain itu masalah pergantian nama dari Tri Koro Dharmo menjadi Jong Java pada tahun 1918 dan perubahan orientasi Jong Java dari non politik ke politik persatuan Indonesia yang mulai menjadi polemik dalam tubuh Jong Java pada tahun 1925, karena aktifitas politik sekitar tahun 1918-1930 belum menjadi  hal yang umum dilakukan organisasi kepemudaan, sehingga hal tersebut menarik untuk diteliti lebih lanjut untuk mengungkap fakta yang sebenarnya. Alasan lain  yang mendorong penulis untuk meneliti Jong Java dikarenakan organisasi ini dalam perkembangannya mempunyai semangat untuk mewujudkan persatuan Indonesia yang dimulai dengan keikutsertaannya dalam kongres kepemudaan dan berusaha mewujudkan cita-cita dan tujuannya sampai melakukan fusi dengan organisasi kepemudaan lainnya untuk memperoleh kemerdekaan.

Tri Koro Dharmo dan Organisasi Pemuda Kedaerahan Tahun 1915-1925
Pemuda menjadi salah satu penggerak dalam mewujudkan tujuan, dalam mewujudkan tujuan tersebut dapat dijadikan dalam satu wadah yaitu sebuah organisasi. Dengan adanya organisasi dapat menyatukan pemikiran maupun ideologi dari setiap individu agar dapat mewujudkan cita-cita yang di inginkan, dengan berorganisasi juga dapat dijadikan pembelajaran bahwasanya hidup dalam kebersamaan lebih mudah dalam mewujudkan suatu tujuan. Pada mulanya bentuk organisasi-organisasi pemuda tersebut berdasarkan kesukuan atau kedaerahan, yang mengutamakan ikatan antara sesama pelajar sedaerah serta membangkitkan perhatian terhadap kebudayaan daerah masing-masing.
Perkumpulan pemuda mengikuti jejak organisasi politik yang bertujuan kemerdekaan Indonesia, para pemuda dengan semangatnya yang tinggi tidak ragu lagi memperjuangkan nasib bangsanya dalam mencapai kemerdekaan. Munculnya organisasi kepemudaan tersebut masih dalam pengawasan pihak kolonial, hal tersebut dilakukan oleh pemerintah Kolonial untuk memastikan bahwa organisasi-organisasi tersebut tidak melakukan perlawanan dan pemberontakan terhadap pemerintah Kolonial. Jika suatu organisasi masih aman dan tidak membahayakan maka masih diizinkan keberadaannya, namun jika organsasi tersebut dirasa membahayakan maka wajib dibubarkan.
Muda dan terpelajar menjadi bobot tersendiri dalam lahirnya organisasi pemuda, muda saja tidak cukup untuk mewujudkan suatu tujuan yang nyata. Karena setiap pemuda mempunyai caranya sendiri untuk menentukan tujuan hidupnya, dengan dibekali pelajaran dan mengenyam pendidikan yang tinggi menjadi nilai plus untuk menjadi  pemuda yang mempunyai bobot yang lebih.
Di Hindia-Belanda memang tidak banyak kaum pemuda yang bisa melanjutkan pendidikannya sampai tingkat tinggi, kebanyakan yang dapat melanjutkan pendidikan tingkat lanjut hanya mereka yang tergolong kaum priyai, kaum priyayai ini adalah mereka yang menjadi administratur, pegawai pemerintah dan masyarakat yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari masyarakat pada umumnya. Muda dan terpelajar bukanlah menjadi syarat utama untuk mendapatkan pengakuan sosial, namun bagaimana mereka mengaplikasikannya dalam lingkungan sosial.
Organisasi pemuda yang berdiri pertama kali di kalangan pelajar pada masa itu bermula di kota-kota besar  seperti di Jakarta. Mereka menuntut ilmu dan disanalah mereka bertemu dengan pelajar-pelajar lain yang berbeda daerah maupun budayanya. Dengan adanya perbedaan inilah mendorong mereka untuk membentuk suatu solidaritas menurut daerah mereka masing-masing, maka terbentuklah suatau perkumpulan pemuda yang menjunjung tinggi kebudayaan dari masing-masing daerah.
Tri Koro Dharmo Menjadi Jong Java
Suatu organisasi yang beranggotakan para pemuda terpelajar dan mempunyai pendapat yang beragam, memerlukan waktu untuk menyatukannya dan mendapatkan pemikiran yang sejalan agar tidak terjadi perselisihan. Seperti Tri Koro Dharmo, yang beranggotakan para pemuda dari pulau Jawa, Madura, Sunda, Bali dan Lombok. Memiliki pendapat yang berbeda diantara anggotanya, seperti dalam hal kebudayaan.
Tri Koro Dharmo sebagai organisasi pemuda pertama, sejak kelahirannya pada tahun 1915. Organisasi ini tidak luput dari masalah intern, yaitu masalah bagaimana menyelaraskan agar organisasi ini tidak bersifat Jawa sentris, karena dilihat dari namanya saja “Tri Koro Dharmo” (Tiga Tujuan Mulia) yang berarti Sakti, Budi, dan Bakti, sehingga tidak mengherankan jika para pemuda dari Sunda dan Bali enggan untuk bergabung dengan Tri Koro Dharmo. Menurut Satiman Wirjosandjojo organisasi ini hanya bersifat sementara dan dengan berjalannya organisasi ini akan dijadikan perkumpulan pemuda seluruh Hindia-Belanda, oleh karena itu bisa menjadi suatu organisasi yang bersifat nasional.
Pada dasarnya Tri Koro Dharmo merupakan organisasi pemuda yang mempunyai tujuan menjalin pertalian antara pelajar-pelajar Jawa sekolah menengah dan kursus keguruan, menambah  pengetahuan umum bagi anggota-anggotanya, serta membangkitkan dan mempertajam perasaan untuk segala bahasa dan kebudayaan “Hindia”. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa organisasi Tri Koro Dharmo yang beranggotakan para pelajar dari Jawa, Madura, Bali dan Lombok, namun pada kenyataannya anggota dari Tri Koro Dharmo yang sebagian besar adalah murid-murid sekolah menengah yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah lebih menonjol karena sifat Jawa sentrisnya. Oleh karena itu pada kongresnya yang diadakan di Solo pada 12 Juni 1918 nama Tri Koro Dharmo diubah menjadi Jong Java yang memiliki cita-cita untuk mempersatukan semua penduduk Jawa sehingga menjadi persatuan Jawa Raya.
Perubahan nama Tri Koro Dharmo menjadi Jong Java tersebut dimaksudkan untuk mempermudah kerjasama antara para pemuda pelajar Sunda, Madura, Bali dan Lombok. Dalam kongres tersebut menghasilkan dua keputusan penting tentang ruang lingkup keanggotaan dan nama organisasi serta mengenai kepengurusan. Adanya pendapat yang sama dalam hasil kongres yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah  perubahan nama tersebut, dibutuhkan rasa solidaritas yang tinggi antar anggota, agar tidak terjadi perselisihan diantara anggotanya. Maka Tri Koro Dharmo diubah menjadi Jong Java, yang tidak merubah pendirian mereka untuk menyatukan Jawa Raya, hanya saja nama dari perkumpulan pemuda ini berubah menjadi Jong Java. Kegiatan Jong Java berkisar pada masalah-masalah sosial dan kebudayaan. Misalnya, pemberantasan buta huruf, kepanduan, dan kesenian. Jong Java tidak ikut terjun dalam dunia politik dan tidak pula mencampuri urusan agama tertentu. Anggotanya dilarang menjalankan aktivitas politik atau menjadi anggota partai politik.
Dengan berganti nama menjadi Jong Java organisasi ini mengalami kemajuan dibidang keanggotaannya, namun dalam perkembangannya masih terasa adanya azas kebudayaan Jawa Raya dengan menonjolkan kebudayaan  Jawa Tengah. Tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa Jong Java tidak memperhatikan adanya kerja sama dengan organisasi pemuda lain, karena diantara organisasi-organisasi yang ada akan melakukan fusi untuk membentuk suatu persiapan menuju persatuan. Perubahan nama tersebut menunjukkan perubahan yang positif karena perhatiannya akan pentingnya pendidikan, kedudukan wanita, keolahragaan dan kepramukaan agar semakin maju dan berkembang.
Perkembangan Politik di Indonesia tahun 1918-1927
24
Pemulaan abad 20, Indonesia masih diajajah oleh Belanda, namun pada abad tersebut Belanda merubah kebijakan penjajahan. Eksploitasi terhadap Indonesia tetap dilakukan tetapi dengan cara yang berbeda yaitu dengan membuat kebijakan berupa “Politik Etis”. Politik Etis yang dijalankan oleh pihak Belanda sejak awal abad  20, dalam usahanya sebagai balas jasa terhadap bangsa Indonesia yang hanya sebagai kedok untuk memberikan kekayaan terhadap Belanda. Politik Etis dilaksanakan dengan maksud untuk mensejahterakan rakyat Hindia-Belanda yang terdiri dari edukasi, imigrasi dan transmigrasi, namun dalam pelaksanaanya, lebih banyak menguntungkan pihak Belanda sendiri. Selain itu masih berlakunya undang-undang produk Belanda atau yang disebut dengan Regerings Reglement (1854-1926), semakin mempersulit pihak masyarakat pribumi untuk lepas dari pengaruh Belanda. Salah satu pasal dari Regerings Reglement yaitu pasal 111 yang menyebutkan larangan adanya perkumpulan politik atau yang bersifat politik, rapat-rapatpun juga tidak diperbolehkan membicarakan masalah politik. Hal tersebut menjadikan masyarakat maupun para pemudanya tidak mendirikan perkumpulan politik.
Para pemuda Indonesia memang tidak mencampuri urusan politik, karena pihak kolonial masih berpengaruh terhadap kehidupan seluruh masyarakat Hindia-Belanda, bahkan dalam membuat sebuah organisasi harus dalam pengawasan pihak belanda. Aktifitas politik belum begitu berpengaruh terhadap kelompok studi pemuda, namun cita-cita untuk mencapainya sudah ditanamkan, bukan berarti mereka tidak tertarik terhadap aktifitas politik, namun mereka masih mempertimbangkan dengan asas non kooperatif, karena dengan asas tersebut dapat mengancam keberadaan mereka sehingga mereka lebih cenderung bergerak pada aktifitas sosial dan ekonomi.
Organisasi pemuda yang aktif dalam masalah politik adalah justru mereka yang sedang belajar di Belanda yang dinamai dengan Perhimpunan Indonesia (PI), pada awalnya Perhimpunan Indonesia ini bernama Indische  Vereeniging (1908) kemudian berubah menjadi Indonesische Vereeniging (1922). Karena nama dengan memakai bahasa Belanda ternyata kurang mencerminkan rasa kebangsaan Indonesia, maka pada tahun 1924 nama Indonesische Vereeniging diubah menjadi Perhimpunan Indonesia. Tujuan perkumpulan ini adalah untuk mencapai Indonesia merdeka dan berasas non kooperasi. Antara Hatta dan anggota PI yang masih di Belanda saling berhubungan untuk menciptakan kondisi yang labih baik, sehingga pandangan-pandangan PI kepada organisasi-organisais politik di Indonesia bisa dijadikan gambaran untuk merealisasikan pandangan politik dalam menciptakan kemerdekaan. PI ini merupakan gerakan pemuda pelajar yang pertama kali berhasil menggugah kesadaran nasional Indonesia. Ide dari PI ini sangat berpengaruh pada jalannya pergerakan nasional, melalui mendirikan organisasi baru maupun menyebar majalah-majalah PI. Karena status anggota PI sebagai mahasiswa membawa posisi mereka tanpa ikatan sosial politik tertentu dan tidak memiliki kepentingan untuk mempertahankan kedudukan, sehingga mereka tidak khawatir dalam bertindak terang-terangan melawan pemerintah Belanda, organisasi ini juga membuat lambang untuk Indonesia diantaranya merah putih sebagai bendera.
Latar Belakang dan Pandanngan Politik Jong Java tentang Persatuan Indonesia
Berkiprah dalam dunia politik pada tahun-tahun awal berdirinya Jong Java menjadi hal yang belum umum dibicarakan dan dijadikan suatu permasalahan, karena Jong Java pada dasarnya hanyalah suatu perkumpulan para pelajar Jawa yang sedang menuntut ilmu di Jakarta. Mereka berkumpul untuk menciptakan persatuan diantara siswa-siswa Jawa. Bahkan dalam kongres-kongres dari kongres I sampai VI tidak ada masalah mengenai urusan politik.
Namun di tahun 1925 terdapat beberapa masalah mengenai pandangan politik, hal tersebut dibahas saat kongres  ke VII yang diadakan Jong Java di Yogyakarta pada tahun 1925, dalam kongres tersebut Hj.Agus Salim selaku tokoh Sarekat Islam melakuakan pidato mengenai Islam dan Jong Java,  dalam pidato tersebut Samsuridjal selaku ketua kongres tersebut  terpengaruh akan pidato tersebut dan mengajukan dua usul penting, yang pertama adalah anggota-anggota yang berumur lebih dari 18 tahun  diperbolehkan ikut dalam aksi-aksi politik, kedua, agar Jong Java memasukkan programnya memajukan agama Islam. Namun kedua usul terebut ditolak , dan dalam kongres tersebut tetap memutuskan bahawa Jong Java tidak berpolitik dan netral terhadap agama.
Dengan adanya penolakan usul tersebut, maka Sam bersama  para anggota yang menghendaki terjun ke dunia politik dan ingin memajukan agama Islam mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) dan diketuai oleh Samsurijal sendiri. JIB ini mendapat dukungan yang besar dari pemuda Islam yang perannya sangat penting dalam pergerakan pemuda. Hal tersebut membuat pendirian Jong Java agak goyah dan Jong Java mengubaha arahya karena paham Indonesia Raya mulai menjadi tujuan utama dikalangan organisasi maupun para pemuda. Sepertihalnya Jong Java, Jong Islamieten Bond tidak mencampuri politik praktis, namun anggota-anggotanya diperbolehkan ikut serta dalam gerakan politik diluar JIB. Tujuan utama dari JIB adalah memajukan pengetahuan Islam, hidup secara Islam dan persatuan Islam serta anggotanya terbuka bagi semua orang Islam Indonesia, meskipun mengaku tidak bergerak dalam masalh politik namun JIB di bawah pengaruh SI.
Pada tahun 1925 Jong Java mulai terlihat akan pandangan mereka terhadap dunia politik, meskipun hanya dengan mengikuti rapat-rapat politik namun dalam hal tersebut sudah dikatakan ikut serta dalam lapangan politik. Keikutsertaan Jong Java dalam politik mengubah mereka akan pandangannya untuk menyatukan Indonesia dan tidak hanya persatuan akan daerahnya, jadi pengaruh yang ditimbulkan Jong Islamiten Bond menjadi hal positif akan perkembangan Jong Java dan menjadi semangat baru akan perjuangannya menuju persatuan Indonesia.
Untuk berkiprah dalam dunia politik belum menjadi hal umum yang dilakukan onggota Jong Java, karena pada dasarnya mereka hanya sebuah organisasi kedaerahan sehingga untuk masuk dunia politik perlu adanya pertimbangan khusus. Jika JIB merupakan gambaran dari Sarekat Islam, maka Jong Java merupakan gambaran dari Budi Utomo yang sama-sama belum benar-benar berpolitik, beda halnya dengan Sarekat Islam yang secara terang-terangan sudah mendirikan partai politik.
Kesimpulan
Bangkitnya kesadaran nasional di Indonesia ditandai dengan berdirinya organisasi modern seperti Budi Utomo, organisasi ini menjadi pendorong para pelajar muda untuk mendirikan organisasi kepemudaan. Lahirnya Jong Java yang di ilhami dari Budi Utomo menjadi organisasi kepemudaan pertama yang lahir dikalangan pemuda.
Jong Java merupakan organisasi kedaerahan yang merupakan pergantian nama dari Tri Koro Dharmo, perubahan nama tersebut tidak menjadi penghalang akan perkembangan Jong Java, karena bukan tanpa alasan mereka merubah nama juga demi kepentingan bersama, organisasi ini beranggokatan siswa-siswa khususnya yang berasal dari Jawa. Lahirnya Jong Java dijadikan contoh organisasi kedaerahan lainnya yang juga ingin mempersatukan dan berkumpul berdasarkan daerah asal mereka. Jong Java memang organisasi kedaerahan, namun organisasi ini mempunyai cita-cita mempersatukan Indonesia dengan dimulai dari mempersatukan siswa-siswa Jawa terlebih dahulu.
Cita-cita mempersatukan Indonesia sudah bisa dikatakan sebagai langkah awal menuju politik, karena cita-cita dan persatuan nasional sudah menjadi dasar dan tujuan untuk mencapai kemerdekaan. Jong Java pada mulanya hanyalah sebuah organisasi yang mempunyai tujuan untuk mempersatukan pelajar Jawa dan masih bersifat primordialisme, sehingga perkembangannya hanya mencakup Jawa saja. Namun dengan adanya perkembangan cita-cita persatuan Indonesia, Jong Java mulai merubah pandangannya untuk ikut serta dalam politik demi mencapai persatuan. Bergerak dalam dunia politik masih menjadi hal yang belum biasa dilakukan Jong Java, dalam kongres-kongres yang  telah dilakukan Jong Java seperti dalam kongresnya ke V tahun 1922 yang melarang anggota dari Jong Java menjalankan politik.
Sampai dengan adanya PPPI yang membawa pengaruh untuk membujuk Jong Java untuk berfusi dan membentuk organisasi yang lebih besar demi kemajuan dan menentukan nasib akan cita-cita yang diidamkan, dengan diadakannya Kongres Pemuda I yang diprakarsai PPPI menjadi salah satu pembuka pintu untuk melakukan persatuan dari berbagai organisasi yang ada, sedangkan dalam Kongres Pemuda yang ke II mengahasilakn Sumpah Pemuda yang menjadi buah pikir pertama menuju persatuan Indonesia. Pada kongres Jong Java yang ke XI tahun 1928 akhirnya mereka melakukan fusi, jadi dapat dikatakan realisasi dari Sumpah Pemuda adalah fusi dari organisasi-organisasi kepemudaanyang ada.
Jong Java yang saat itu menjadi organisasi besar dan mempunyai pengaruh yang besar pula terhadap perkembangan nasional, maka fusi tersebut menjadi jalan awal untuk membentuk suatu kesatuan dan hasil dari fusi ini salah satunya adalah tercetuskannya Sumpah Pemuda yang mempunyai pengaruh besar atas simbol persatuan bangsa, karena Sumpah Pemuda tersebut merupakan hasil dari pemikiran-pemikiran para pemuda yang sudah terorganisir dan menjadi langkah awal persatuan Indonesia.
Fusi yang dialakukan Jong Java mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan nasionalisme, karena dengan adanya fusi ini Jong Java tidak lagi berjuang sendiri untuk membentuk kesatuan, meskipun Jong Java dengan adanya fusi ini dinyatakan bubar namun tidak serta merta hilang bubar begitu saja, Jong Java tetap meneruskan tujuannya namun  dengan wadah yang berbeda yaitu Indonesia Muda. Aktifitas Jong Java terhadap perkembangannya dapat  di lihat dari keikutsertaannya dalam fusi yang tujuannya unutuk membentuk persatuan Indonesia yang labih megarah ke politik untuk mencapai kemerdekaan dan lepas dari Belanda.
Perkembangan Indonesia Muda juga menjadi perkembangan dari semua organisasi kepemudaan yang telah melebur  menjadi satu seperti Jong Java, tujuan Indonesia Muda mempererat persatuan dukalangan pelajar-pelajar, dan untuk mencapai tujuan ini Indonesia Muda berusaha memajukan rasa saling menghargai dan memelihara persatuan, meskipun para anggota dari Indonesia Muda tidak berpolitik namun itu hanya kedok untuk mempertahankan Indonesia Muda untuk mewuudkan cita-cita persatuan