DINAMIKA BURUH PERKEBUNAN DI SUMATERA TIMUR TAHUN
1950-1957
ARTIKEL
Oleh :
QUR’AINI KRISVIANA
084284043
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
2012
DINAMIKA BURUH PERKEBUNAN DI SUMATERA TIMUR
TAHUN 1950-1957
ABSTRAK
QUR’AINI
KRISVIANA
Perkebunan
merupakan aspek terpenting dalam pemandangan ekonomi di Indonesia pada masa
kolonial sampai sekarang. Usaha perkebunan yang semula diadakan di Jawa itu,
menjelang akhir abad ke-19 mulai dikembangkan dan meluas di luar pulau Jawa,
khususnya Sumatera. Dengan dibukanya
perkebunan-perkebunan besar di Sumatera Timur yang sangat luas maka dibutuhkan
buruh untuk bekerja diperkebunan. Pihak perkebunan bekerjasama dengan agen-agen
penyalur buruh (AVROS) untuk mendapatkan buruh. seiring dengan perkembangan
perkebunan yang berkembang pesat maka perselisihan perburuhan tidak dapat
dihindarkan lagi, mengingat berbagai tipe manusia yang bekerja
diperkebunan akan selalu berhadapan dengan kebijaksanaan majikan. Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
pada dasarnya diatur dalam undang-undang No.22 tahun 1957 serta peraturan
pemerintah lainnya (Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja). Menurut latar belakang yang ada maka peneliti
tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai Dinamika Buruh Perkebunan di
Sumatera Timur tahun 1950-1957. Melalui latar belakang diatas peneliti
menetapkan tiga rumusan masalah yang berkaitan dengan dinamika buruh perkebunan
yaitu, Mengapa terjadi protes
buruh, bagaimana bentuk protes yang dilakukan oleh buruh tahun 1950-1957 di
Sumatera, dan bagaimana penyelesaian perselisihan antara buruh dan perusahaan.
Peneliti menggunakan metode penelitian sejarah antara
lain heuristic (mengumpulkan
data), kritik sumber (pengujian kevaliditasan data), interpretasi
(menghubungkan antar fakta) dan historiografi (penulisan sejarah) untuk menelusuri sumber. Metode
penelitian sejarah merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis
rekaman dan peninggalan sejarah masa lampau secara kritis. Penelitian dengan
berdasarkan metode tersebut diharapkan dapat menghasilkan penulisan ilmiah
dengan suatu kegiatan yang obyektif, sistematis, dan logis.
Berdasarkan sumber dan penelitian yang peneliti lakukan maka, ditemukan
beberapa poin yang dapat dijadikan jawaban dalam rumusan masalah diatas. Buruh
perkebunan di Sumatera Timur melakukan protes dikarenakan rasa kurang puas
buruh mengenai kebijakan-kebijakan yang ada di perkebunan dan seiring dengan
berjalannya waktu, pihak buruh mulai memahami tentang hak dan kewajiban mereka
sebagai buruh. Berbagai bentuk protes dilakukan oleh buruh antara lain: melakukan pencurian terhadap perkebunan agar perkebunan mengalami
kerugian, mogok kerja, melakukan kekerasan atau bahkan pengeroyokan terhadap
Asisten Perkebunan dan tidak sedikit pula buruh yang melakukan pembunuhan
terhadap Asisten kebun, tidak mau bekerja, tidak memenuhi target yang telah
ditentukan oleh perkebunan, dan lain sebagainya. Penyelesaian perselisihan pada
dasarnya diatur dalam undang-undang No.22 tahun 1957 serta peraturan pemerintah
lainnya (Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja). Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan pada tahap awal mensyaratkan perselisihan diselesaikan
secara musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilaksanakan oleh para pihak yang
berselisih. Apabila tidak dicapai perdamaian antara pihak yang berselisih
setelah dicari upaya penyelesaian oleh para pihak, maka baru diusahakan
penyelesaiannya oleh Badan Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Badan ini juga
dalam mencari penyelesaian harus tetap berpedoman pada asas musyawarah untuk
mencapai mufakat serta harus pula memberi kesempatan kepada para pihak yang
berselisih sebelum mengambil keputusan.
Kata
Kunci : Perkebunan, Buruh,
Perselisihan perburuhan,
Pendahuluan
Perkebunan merupakan aspek terpenting dalam pemandangan ekonomi
di Indonesia pada masa kolonial sampai sekarang. Usaha perkebunan yang semula
diadakan di Jawa itu, menjelang akhir abad ke-19 mulai dikembangkan dan meluas
di luar pulau Jawa, khususnya Sumatera. Perluasan usaha perkebunan itu
nampaknya sejalan dengan proses ekspansi dan pasifikasi kekuasaan kolonial
Belanda di wilayah nusantara dalam rangka menerapkan kebijakan politik Pax
Neerlandica-nya yang sukses.
Dengan dibukanya
perkebunan yang ada di Sumatera ini maka dibuka pula lapangan kerja baru yang
ada di Sumatera. Wilayah Sumatera yang sangat luas dengan penduduk yang sedikit
ini memicu para pengusaha perkebunan untuk mendapatkan tenaga kerja dari luar
pulau Sumatera. Para pengusaha mendatangkan tenaga kerja dari luar Sumatera
dengan bantuan agen-agen penyalur tenaga kerja (buruh), AVROS merupakan salah
satu agen yang menyalurkan tenaga kerja dari luar Sumatera ke
perkebunan-perkeunan yang ada di Sumatera.
Gerakan protes buruh
perkebunan sering terjadi seiring dengan lajunya perkembangan pembangunan dan
proses industrialisasi serta meningkatnya jumlah angkatan kerja, maka masalah
perselisihan perburuhan yang timbul antara pekerja/ buruh dengan
perusahaan/majikan merupakan suatu kejadian yang tidak dapat dihindarkan lagi, mengingat berbagai
tipe manusia yang bekerja diperusahaan/ perkebunan selalu akan berhadapan
dengan kebijaksanaan pengusaha/ majikan. Disatu fihak kebijaksanaan tersebut
dirasakan sebagai aktivitas yang sangat memuaskan tetapi di lain fihak
dirasakan sebagai aktivitas yang kurang menyenangkan. Meski bagaimana baiknya
suatu hubungan kerja yang telah diperjanjikan dan disepakati bersama oleh
pekerja/buruh dengan perusahaan/majikan, tetapi masalah perselisihan antara ke
duanya akan selalu ada dan bahkan sulit untuk dihindarkan.
Ciri penting kontrak
tenaga kerja pendatang di Sumatera ialah bahwa kontrak yang mereka tanda
tangani sewaktu berangkat dari tanah asalnya tidak dapat dibatalkan. Penguasa
kolonial memberikan ketentuan-ketentuan hukum yang dapat memaksa kuli
melaksanakan kewajibannya. Ordonansi kuli dan sanksi hukuman menjadi dasar
aturan kerja yang dilakukan diperkebunan-perkebunan di Luar Jawa.
Dipertahankannya asas
paksaan sebagai dasar pengerahan tenaga kerja dalam industri perkebunan di
Sumatera ini menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang hakiki di dalam
hubungan antara tuan kebun dan kuli. Sekitar seratus ribu kuli yang berkerja di
daerah sekitar Medan ternyata tak mempunyai hak untuk melepaskan diri dari
kontrak kerja yang dibuatnya dengan perkebunan sebelum berangkat ke Deli.
Kalaupun mereka berani menghentikan pekerjaan maka hukuman yang bisa dikenakan
menurut peraturan penale sanctie (sanksi
hukuman) sangat berat.
AVROS merupakan
Perhimpunan Pengusaha Perkebunan Karet di Pantai Timur Sumatra yang didirikan
oleh pengusaha perkebunan karet di Sumatera Timur pada awal abad ke-20
(tepatnya 1909). Organisasi ini didirikan karena pemodal perkebunan karet di
Sumatera, seperti Horisson and Crosfield (masuk 1904) dan Goodyear Rubber Company
(masuk 1909) memerlukan tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Pencarian
dilakukan melalui agen-agen ke Jawa sebab tenaga kerja dari pulau Jawa dinilai
tekun.
Dalam ketimpangan
hubungan antara pengusaha dan rakyat setempat, AVROS juga berperan menjadi penghubung
para pengusaha dengan pemerintah kolonial, tenaga kerja, maupun dengan
institusi tradisional setempat. Kegiatan pokok yang dilakukan oleh AVROS adalah
menyediakan tenaga kerja perkebunan, membuat peraturan perekrutan serta
mengadakan pengawasan dengan kuli-kuli kontrak seandainya melarikan diri
perkebunan yang satu dengan perkebunan yang lainnya. Dengan adanya organisasi
penghubung seperti AVROS pengusaha sangat terbantu mengingat tajamnya harga
karet. Para pengusaha perkebunan mampu mengendalikan biaya produksi yang
mencakup upah kuli kontrak.
Perselisihan perburuhan
terhadap pekerja dan perusahaan/majikan memang sulit untuk dihindari. Walaupun
ke dua belah pihak telah membuat suatu peraturan tertulis baik yang dibuat oleh
Serikat Pekerja/buruh.
Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan pada dasarnya diatur dalam undang-undang No.22 tahun
1957 serta peraturan pemerintah lainnya (Peraturan Menteri dan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja). Namun pada dasarnya undang-undang dan peraturan tersebut
tidak dapat dilaksanakan secara maksimal.
Dewasa ini tidak
sedikit buruh, baik secara langsung maupun tidak langsung mengadukan masalahnya
kepada lembaga-lembaga yang sebenarnya berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang tidak berwanang dengan penanganan perselisihan perburuhan. Akan tetapi
seharusnya para buruh mengadukannya kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan, karena lembaga inilah yang akan menengahi permasalahan perselisihan
antara buruh dan perusahaan.
Perkebunan
Sumatera
Sumatera Timur sampai pertengahan
abad ke-19 didiami oleh kelompok etnis Melayu, Batak Karo, dan Batak
Simalungun. Mereka inilah yang dikenal sebagai penduduk asli Sumatera Timur.
Etnis Melayu Pesisir Sumatera Timur mendiami daerah Pantai Sumatera Timur yang
membentang dari perbatasan Aceh (Tamiang) sampai ke Kerajaan Siak. Yang
dimaksud dengan etnis Melayu adalah golongan bangsa yang menyatukan dirinya
dalam pembauran ikatan perkawinan antar-etnis serta memakai adat Resam dan
Melayu secara sadar dan terus-menerus. Etnis Melayu mayoritas beragama Islam,
sehingga dikenal istilah “masuk Melayu sama dengan masuk Islam”.
Sampai
pada pertengahan abad ke 19, di Sumatra Timur terdapat se-jumlah kerajaan kecil
di daerah pesisir dan terdapat lebih banyak di daerah pedalaman. Wilayah kerajaan-kerajaan
ini menjadi rebutan dan pengaruh antara Aceh di Utara dan Johor di Malaya.
Memasuki
abad ke-20, pemerintah Belanda mulai menaklukkan wilayah Simalungun dan Tanah
Karo, Batak Toba dan Dairi. Antara tahun 1870-1942 wilayah dan penduduk dari 41
kerajaan di Sumatera Timur telah digabungkan ke dalam jaringan birokrasi
pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Semua kontrak politik yang ditandatangani
antara kedua belah pihak, akhirnya telah mereduksi jumlah kerajaan itu menjadi
34 kerajaan. Kerajaan-kerajaan itu telah diberi batas-batas wilayah tertentu
dan secara bersama-sama digabungkan sebagai Residensi Sumatera Timur. Pada
tahun 1915, Residensi Sumatera Timur dinaikkan statusnya menjadi Propinsi
Sumatera Timur yang membawahi lima afdeling, yaitu Deli en Serdang,
ibukotanya Medan, Langkat ibukotanya Binjai, Simalungun ibukotanya Siantar,
Asahan ibukotanya Tanjung Balai, dan Bengkalis ibukotanya Bengkalis.
Dengan
adanya penataan wilayah kerajaan Sumatera Timur, maka Belanda secara otomatis
telah memasukkan daerah Sumatera Timur ke dalam struktur birokrasi kolonial
yang berpusat di Batavia. Hal ini artinya Belanda telah berhasil menyatukan
wilayah kerajaan yang belum pernah memiliki kesatuan politik dan administratif.
Belanda pun secara tidak langsung telah memberi indentitas baru kepada daerah
pesisir Sumatera Timur dan menghubungkan daerah itu dengan Jawa.
Perkebunan
merupakan aspek terpenting dalam
pemandangan ekonomi di Indonesia pada masa kolonial sampai sekarang. Usaha
perkebunan yang semula diadakan di Jawa itu, menjelang akhir abad ke-19 mulai
dikembangkan dan meluas di luar pulau Jawa, khususnya Sumatera. Perluasan usaha
perkebunan itu nampaknya sejalan dengan proses ekspansi dan pasifikasi
kekuasaan kolonial Belanda di wilayah nusantara dalam rangka menerapkan
kebijakan politik Pax Neerlandica-nya yang sukses.
Orang
pertama yang pantas disebut dalam pembicaraan tentang sejarah perkebunan di
Sumatera Timur adalah J. Nienhuys. Ia datang ke Deli tahun 1863 untuk menetap
sebagai pengusaha dan menjadi peletak dasar budidaya tembakau yang mengantarkan
Sumatera Timur terkenal ke seluruh dunia. Sejak datangnya Nienhuys sampai 1890
adalah masa berkembangnya perkebunan tembakau di Sumatera Timur. Pada tahun
1872, lima belas perkebunan tembakau telah berdiri di Sumatera Timur; 13 di
Deli, 1 di Langkat dan 1 di Serdang. Investasi modal Eropa berkembang pesat.
Dalam satu tahun antara 1869-1870 produksi tembakau telah meningkat dua kali
lipat dari 1381 sampai 2868 bal. Dalam sepuluh tahun antara tahun 1873-1883 hasil
tembakau meningkat 10 kali lipat dari 9238 menjadi 93.532 bal. Penghasilan
perkebunan juga meningkat dari f. 2.500.000 menjadi f. 19.150.000 . Sampai
tahun 1884 ada sejumlah 76 perkebunan, 44 di Deli, 20 di Langkat, 9 di Serdang,
2 di Bedagai dan 1 di Padang. Hanya dalam waktu 25 tahun setelah Nienhuys,
daerah rawa Sumatera setelah Nienhuys, daerah rawa Sumatera Timur telah berubah
menjadi kawasan perkebunan besar/
Era
perkebunan tembakau kemudian digantikan dengan tanaman keras seperti karet,
sawit, dan teh. Perkebunan karet pertama didirikan di Serdang tahun 1902. Usaha
perkebunan di Sumatera Timur dirintis pertama kali oleh Jacobus Nienhuys,
seorang pengusaha Belanda, yang berkesimpulan bahwa tanah di daerah itu sangat
cocok untuk usaha perkebunan, selain itu juga tanaman tersebut memiliki prospek
yang sangat menguntungkan dalam pasaran dunia. Pada tahun 1863, Nienhuys
memperoleh tanah seluas 4.000 bau (bouw) dari Sultan Mahmud,
penguasa Deli, untuk membuka usaha perkebunan tembakau. Usaha Nienhuys itu
ternyata berhasil, karena lahan di daerah tersebut mampu menghasilkan daun
tembakau pembungkus cerutu yang halus dan mahal harganya di pasaran dunia.
Melihat
usaha yang menguntungkan dari Nienhuys itu, maka kemudian banyak pengusaha
perkebunan Eropa lainnya, seperti Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan
Swiss, yang tertarik untuk menanamkan investasi dan mengambil keuntungan dalam
bidang perkebunan di daerah Sumatera Timur. Pemerintah kolonial Belanda
sendiri, tentu saja, mendorong dan membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya
investasi dan modal asing swasta itu sesuai dengan politik liberalnya. Ditambah
lagi oleh suatu kenyataan bahwa ketergantungan pemerintah kolonial pada pajak
tanah dan pajak perorangan, semakin lama semakin berkurang. Sehingga sekarang
lebih mengandalkan pada pajak keuntungan dari sektor usaha perkebunan.
Keberhasilan
usaha perkebunan di Sumatera Timur, sebenarnya tidak bisa dilepaskan juga dari
keberhasilan perusahaan-perusahaan Belanda dalam melakukan negosiasi dan
mempengaruhi para penguasa lokal di daerah itu
seperti Sultan Deli, Serdang, dan Langkat agar mau mengadakan perjanjian
dan menandatangani kontrak jangka panjang untuk menyediakan lahan perkebunan
yang luas. Seperti telah disebutkan bahwa Nienhuys mula-mula berhasil memperoleh
tanah seluas 4.000 bau itu dengan masa sewa selama 20 tahun dan biaya
sewa yang sangat murah. Usaha itu kemudian diikuti oleh para pengusaha
perkebunan Eropa lainnya, sehingga wilayah di Sumatera Timur itu telah menjadi
“lautan perkebunan” yang luas.
Dengan beralihnya perkebunan tembakau ke
perkebunan karet, maka tenaga kerja beralih dari kuli kontrak Cina ke kuli
kontrak Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa kuli kontrak Jawa sangat menguntungkan
berdasarkan kondisi objektif (orang Jawa juga terkenal memiliki tenaga yang
kuat, gigih dalam bekerja, tidak mudah protes
dan mudah di intervensi) maupun geografis (orang Jawa telah terbiasa
menanam tanaman keras, sejak masa cultuurstesel,
hal ini sangat menguntungkan karena orang Jawa sudah mamahami tentang tanaman
keras). Walaupun indusri karet mempekerjakan kuli-kuli kontrak Jawa namun penguasaan kuli-kuli kontrak Jawa oleh
pengusaha perkebunan karet pada tahun 1914
telah mului dihapuskan. Padahal koeli
ordonantie (1915) menyatakan pelaksanaan Poenale Sanctie dapat dihapuskan dengan kemauan atau pemakluman
Gubernur Jenderal.
Masalahan
Perburuhan
Perkembangan
perusahaan-perusahaan asing di Sumatera Timur sangat memerlukan tenaga kerja
manusia. Pembukaan hutan dan penebangan pohon-pohon besar, pembuatan saluran
air, pengelolaan tanah penanaman tembakau dan sebagainya sangat memerlukan
tenaga manusia. Sulitnya mencari tenaga kerja sudah diketahui sejak semula.
Para pengusaha perkebunan mengetahui penduduk asli tidak bersedia bekerja di
perkebunan dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Penduduk setempat
Sumatera Timur tidak diambil sebagai pekerja di perkebunan, baik karena jumlah
mereka yang tidak cukup besar maupun karena psikologis mereka itu tidak senang
bekerja diperkebunan. Akhirnya mereka tergantung pada buruh yang didatangkan
dari luar, berawal dari buruh Cina lalu buruh Jawa.
Keberhasilan mereka mengeksploitasi lahan
adalah apabila tersedianya tenaga manusia. Sumatera yang mempunyai lahan yang
luas sedangkan penduduknya sedikit menjadi masalah tersendiri. Rakyat Sumatera
pada umumnya memiliki tanah yang luas.
Dalam masalah ekonomi mereka bukanlah termasuk ekonomi lemah. Mereka lebih suka
bekerja di lahannya sendiri.
Pertumbuhan
perusahaan-perusahaan perkebunan di Sumatera Timur berjalan dengan sangat
pesat. Perkembangan dan perluasan daerah-daerah perkebunan, diikuti pula oleh
kebutuhan tenaga buruh yang semakin meningkat. Hal ini menyebabkan terjadinya
persaingan dalam usaha mendapatkan tenaga buruh. Pada awalnya para perantara
ini mengambil tenaga buruh yang rajin dan terampil, tetapi setelah permintaan
jumlah tenaga buruh makin meningkat, mereka tidak lagi memilih buruh yang akan
dibawa. Untuk itu dibangunlah AVROS sebagai perekrut tenaga kerja.
Dengan demiklan, pada
hakekatnya AVROS sangat memegang peranan panting dalam membantu meringankan
beban anggotanya untuk mengatasi kakurangan tenaga kerja dan lahan yang
diperlukan untuk kemajuan perkebunan. Sesungguhnya organisasi perkebunan
didirikan tidak terlepas dari kebijaksanaan sistem liberal pemerintah kolonial
Belanda terhadap sumber daya manusia yang harus diatur.
Peranan AVROS sebagai
organisasi penyalur tenaga kerja di perkebunan dalam menunjang hubungan tenaga
kerja, pengusaha dan pemerintah di Sumatera Timur. AVROS sebagai organisasi penyalur
tenaga kerja di perkebunan diharapkan mampu menjelaskan hubungan perkebunan
dengan tenaga kerja tembakau dalam mengatasi kekurangan tenaga kerja, hubungan
perkebunan dengan pengusaha untuk memberi lahan dan bibit yang dibutuhkan serta
hubungan perkebunan dengan pemerintah (pengusaha) untuk membantu usaha-usaha
mendapatkan konsesi tanah perkebunan.
Berbagai peristiwa yang
menyedihkan terjadi dalam masyarakat perkebunan setelah jumlah tenaga buruh
semakin ramai. Sejak permulaan Nienhuys membuka usaha perkebunannya, ia sudah
melakukan tindakan-tindakan sesuka hati. Perkara yang paling penting bagi Tuan
Kebun ialah keinginan untuk memperoleh hasil yang tinggi. Mereka tidak mengenal
arti sabar.
Selain itu timbul pula
masalah buruh dari semenanjung yang sudah diberi uang panjar, tetapi tidak
sampai di perkebunan tempat bekerja. Ada yang sudah sampai tetapi malas bekerja
dan sering pula terjadi perkelahian antara sesama buruh, lari dan sebagainya.
Perkara-perkara yang timbul akibat lari, kurang kuat bekerja, perkelahian dan
sebagainya itu membuat mereka harus diadili. Dalam hal ini Tuan-Tuan Kebun
sangat berat hati mengirim mereka untuk diadili di Mahkamah Sultan. Dasar
pemikiran mereka ialah, semua buruh harus ada di perkebunan dan bekerja untuk
meningkatkan produksi setinggi mungkin. Apapun yang terjadi di luar perkebunan
asal tidak mengganggu kelancaran produksi, mereka tidak peduli.
Sultan memberi
kelonggaran bagi Tuan-Tuan Kebun untuk mengadakan semacam pengadilan dan hakim
sendiri. Diputuskan bahwa semua orang yang bekerja di perkebunan, asal etnik
apapun yang bukan warga asli Raja-raja setempat, berdasarkan kelahiran mereka
di Sumatera Timur, dikeluarkan dari yurisdiksi atau pengadilan penguasa lokal
dan ditempatkan di bawah yurisdiksi dan administrasi langsung pemerintahan
Hindia Belanda.
Praktek negara dalam negara itu berjalan sejak
Nienhuys dan Tuan-Tuan Kebun menganggap “fasilitas” itu sudah cukup serasi.
Bila ada buruh yang malas bekerja Tuan Kebun bisa memberikan hukuman penjara.
Oleh karena hukuman penjara itu memboroskan waktu dan tenaga buruh menjadi
mubazir, maka kebiasaan bagi Tuan Kebun main tendang dan pukul saja dan selepas
itu mereka disuruh bekerja kembali.
Pihak perkebunan merasa
puas dengan adanya kebebasan mengadili sendiri semua peristiwa ringan maupun
berat yang terjadi dalam “wilayah” perkebunan. Akan tetapi status orang-orang
Belanda yang berada di perkebunan adalah warga pemerintahan Hindia Belanda maka
mereka harus mempunyai hukum yang sah menurut undang-undang.
Hubungan
Buruh Majikan
Majikan
dan buruh adalah dua pihak yang saling membutuhkan dan saling tergantung
satu dengan yang lain. Majikan membutuhkan buruh untuk mengerjakan produksi dan
menghasilkan barang/produk untuk kepentingan usaha/pabriknya. Sementara buruh
membutuhkan majikannya untuk mendapatkan upah atas tenaga yang diberikannya
kepada kepentingan produksi barang sang majikan. Jadi kedua pihak tersebut,
baik buruh maupun majikan sebenarnya saling membutuhkan.
Namun,
yang lebih sering terjadi pada hubungan antar kedua belah pihak tersebut adalah
sang buruh seringkali berada pada posisi yang lebih lemah daripada sang
majikan. Buruh dianggap bukanlah mitra yang sejajar bagi majikan. Buruh
hanyalah sebuah obyek bagi majikan untuk melaksanakan kepentingan mereka. Buruh
sering diperas majikan dengan upah yang relatif kecil. Secara sosiologis buruh
itu tidak bebas sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup yang lain
kecuali tenaganya dan kadang-kadang terpaksa untuk menerima hubungan kerja
dengan majikan meskipun memberatkan bagi buruh itu sendiri.
Terbukanya
perkebunan-perkebunan besar tidak lepas dari peranan para buruh. Keberhasilan
perusahaan perkebunan-perkebunan besar di Sumatera Timur ini dapat berjalan
lancar apabila tidak tersedia tenaga kerja manusia. Sumatera memiliki tanah
yang sangat luas sedangkan penduduknya sedikit, hal ini menjadi masalah
tersendiri bagi perkebunan-perkebunan yang ada. Perkebunan memerlukan banyak
tenaga kerja untuk menglakukan eksploitasi hutan-hutan yang lebat di Sumatera
yang akan dijadikan perkebunan-perkebunan.
Dengan
berjalannya politik pintu terbuka, maka kekuasaan-kekuasaan modal semakin
banyak, pemodal-pemodal baik asing maupun lokal berlomba-lomba untuk menanamkan
modal dan mempercepat perputaran modalnya secara cepat dan melakukan
penghisapan (eksploitasi) terhadap
kelas buruh secara brutal. Kelas buruh dipaksa untuk menyetujui perjanjian
kontrak kerja atas dasar aturan main perusahaan/perkebunan.
Kerja
kontrak nampaknya menjadi strategi pengusaha untuk lepas tangan dari berbagai kesulitan.
Paling tidak dengan cara ini suatu perusahaan/perkebunan dapat menentukan
berbagai peraturan secara sepihak. Pengusaha bisa menjadi sosok penguasa dengan
hak-hak feodal. Kerja kontrak seperti ini lekat dengan bentuk hubungan ke
masyarakat budak maupun feodal.
Dalam
hubungan produksi sosial kerja kontrak, kaum buruh meghadapi disiplin dan jam
kerja yang ketat dan pembagian kerja yang rumit. Konkritnya mereka harus
bekerja lebih dari jam yang telah ditentukan, mendengarkan kata-kata kasar dari
mandor dan tuan kebun, memperbaharui kontrak kerja mereka setiap tahunnya.
Rekrutmen
yang dilakukan oleh organisasi yang bertugas untuk menyalurkan tenaga kerja
kurang baik karena kebanyakan buruh tidak bisa melakukan baca tulis (buta
huruf), akan tetapi mereka harus dihadapkan dengan kontrak kerja, yang
mengharuskan mereka untuk membacanya, akan tetapi sudah jelas mereka tidak bisa
membaca kontrak kerja tersebut.
Sebagai
akibat dari sistem rekrutmen buruh yang tidak sehat itu, maka jumlah buruh yang
bekerja di Sumatera Timur terus berkembang dari waktu ke waktu. Kalaupun ada
buruh dari Jawa yang ingin bekerja secara sukarela di perkebunan, jumlahnya
tidak banyak dan hal itu terutama berkaitan erat dengan usaha untuk
meningkatkan taraf kehidupan ekonominya.
Kesimpulan
Gerakan protes buruh
perkebunan sering terjadi seiring dengan lajunya perkembangan pembangunan dan
proses industrialisasi serta meningkatnya jumlah angkatan kerja, maka masalah
perselisihan perburuhan yang timbul antara pekerja/ buruh dengan perusahaan/majikan
merupakan suatu kejadian yang tidak
dapat dihindarkan lagi, mengingat berbagai tipe manusia yang bekerja
diperusahaan/ perkebunan selalu akan berhadapan dengan kebijaksanaan pengusaha/
majikan. Disatu fihak kebijaksanaan tersebut dirasakan sebagai aktivitas yang
sangat memuaskan tetapi di lain fihak dirasakan sebagai aktivitas yang kurang
menyenangkan. Meski bagaimana baiknya suatu hubungan kerja yang telah
diperjanjikan dan disepakati bersama oleh pekerja/buruh dengan
perusahaan/majikan, tetapi masalah perselisihan antara ke duanya akan selalu
ada dan bahkan sulit untuk dihindarkan.
Berbagai
bentuk protes dilakukan oleh buruh diperkebunan antara lain: melakukan
pencurian terhadap perkebunan agar perkebunan mengalami kerugian, mogok
kerja, melakukan kekerasan atau bahkan
pengeroyokan terhadap Asisten Perkebunan dan tidak sedikit pula buruh yang
melakukan pembunuhan terhadap Asisten kebun, tidak mau bekerja, tidak memenuhi
target yang telah ditentukan oleh perkebunan, dan lain sebagainya. Hal ini
disebabkan karena adanya rasa tidak puas yang dirasakan oleh pihak buruh
terhadap kebijaksanaan dari perkebunan. buruh seringkali berada pada posisi
yang lebih lemah daripada sang majikan. Buruh dianggap bukanlah mitra yang
sejajar bagi majikan. Buruh hanyalah sebuah obyek bagi majikan untuk
melaksanakan kepentingan mereka. Buruh sering diperas majikan dengan upah yang
relatif kecil. Secara sosiologis buruh itu tidak bebas sebagai orang yang tidak
mempunyai bekal hidup yang lain kecuali tenaganya dan kadang-kadang terpaksa
untuk menerima hubungan kerja dengan majikan meskipun memberatkan bagi buruh
itu sendiri.
Seiring dengan berjalannya waktu, pihak buruh mulai
memikirkan tentang kesejahteraan mereka terima dari pihak perkebunan yang telah
mereka ikuti selama bertahun-tahun. Pihak buruh mengeluhkan tentang
fasilitas-fasilitas yang selama ini mereka terima dari perkebunan. Fasilitas
yang mereka terima saat ini dirasa masih sangat jauh dari kata layak. Fasilitas yang maereka keluhkan antara lain:
pengadaan peruhan bagi tiap kepala keluarga, kendaraan ataupun uang untuk naik
kendaraan umum bagi para buruh yang rumahnya jauh dari perkebunan, fasilitas
kesehatan seperti berobat kedokter jika mereka ataupun keluarga mereka sakit,
fasilitas pendidikan, tambahan tenaga pendidik (guru) bagi anak-anak buruh,
tempat pengasuhan bagi anak-anak buruh jika mereka ditinggal oleh orang tuanya
untuk bekerja diperkebunan, dan fasilitas fasilitas pendukung lainnya yang
belum mereka terima.
Penyelesaian perselisihan pada dasarnya diatur dalam
undang-undang No.22 tahun 1957 serta peraturan pemerintah lainnya (Peraturan Menteri
dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja). Penyelesaian Perselisihan Perburuhan pada
tahap awal mensyaratkan perselisihan diselesaikan secara musyawarah untuk
mencapai mufakat yang dilaksanakan oleh para pihak yang berselisih. Apabila
tidak dicapai perdamaian antara pihak yang berselisih setelah dicari upaya
penyelesaian oleh para pihak, maka baru diusahakan penyelesaiannya oleh Badan
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Badan ini juga dalam mencari penyelesaian
harus tetap berpedoman pada asas musyawarah untuk mencapai mufakat serta harus
pula memberi kesempatan kepada para pihak yang berselisih sebelum mengambil
keputusan.
Penelitiannya menarik Mbak Eka, kira-kira saya bisa dapat akses ke penelitiannya tidak,Mbak?
BalasHapus