Rabu, 26 September 2012

EKSPLOITASI HUTAN JATI KPH NGAWI TAHUN 1999 – 2008


EKSPLOITASI HUTAN JATI KPH NGAWI TAHUN 1999 – 2008


ARTIKEL




Oleh :
YULINDA WAHYU H.D
084284046


UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
2012


EKSPLOITASI HUTAN JATI KPH NGAWI TAHUN 1999 – 2008

ABSTRAK

YULINDA W.H.D

             Di Kabupaten Ngawi terdapat hutan jati yang sangat luas. Hutan tersebut dikelola dibawah kendali sebuah wadah yaitu, Kesatuan Pemangkuan Hutan Ngawi atau KPH Ngawi. Secara umum KPH Ngawi adalah salah satu KPH yang ada di Unit II Jawa Timur. Sebagai salah satu KPH terbesar di Jawa Timur dengan hutan jati yang berkualitas, maka KPH Ngawi ditetapkan sebagai Kelas Hutan Jati atau Perusahaan Produksi Jati.
            Wilayah hutan KPH Ngawi memiliki areal hutan jati yang sangat luas, sehingga pelaksanaan eksploitasi juga dilakukan secara besar – besaran dalam jumlah yang besar pula. Pada tahun 1999 saja tercatat hutan jati di wilayah KPH Ngawi seluas 45.849,27 hektar. Masalah eksploitasi hasil hutan juga tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Berdasarkan latar belakang yang ada maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai eksploitasi yang terjadi di KPH Ngawi dengan rentang waktu 1999 – 2008. Rumusan masalahnya adalah sebagai berikut, bagaimana eksploitasi hutan jati di KPH Ngawi tahun 1999 – 2008? dan bagaimana dampak eksploitasi hutan jati di KPH Ngawi terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan ekologi masyarakat sekitar hutan?. Penelitian ini adalah penelitian sejarah, oleh karena itu metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah, antara lain heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi untuk menelusuri sumber.
Hasil penelitian adalah sebagai berikut, eksploitasi yang berlangsung di KPH Ngawi memiliki serangkaian bentuk yang terinci dan terencana sesuai dengan pekerjaan yang terdapat dalam eksploitasi. Mulai dari eksploitasi hutan hingga tenaga kerja. Dampak atau pengaruhnya cukup besar bagi masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Di desa – desa hutan masyarakat hidup dengan mengandalkan sumber daya hutan. Pemanfaatan yang salah seringkali menimbulkan dampak yang merugikan bagi Perhutani KPH Ngawi dalam mengelola hutan. Oleh karena itu Perhutani memanfaatkan masyarakat sekitar hutan untuk menjadi tenaga kerja di hutan. Dari proses perekrutan tenaga kerja dari masyarakat sekitar hutan akan membawa dampak yang positif bagi masyarakat sekitar hutan dengan terbukanya lapangan pekerjaan yang mampu meningkatkan pendapatan mereka. Tindakan lain yang dilakukan oleh Perhutani KPH Ngawi adalah dengan memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat sekitar hutan dalam bidang kehutanan dan pemanfaatan sumber daya yang benar.
Kata Kunci : Eksploitasi, Hutan Jati, KPH Ngawi


Pendahuluan

Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa, mempunyai hutan hujan tropis yang luas dan lebat. Diantara hutan tropis tersebut, yang sangat terkenal adalah hutan kayu jati ( tectona grandis ), pohon yang tingginya mencapai 40 – 45 meter. Memiliki batang lurus dan percabangannya muncul jauh dari permukaan tanah. Oleh karena itu selama berabad – abad pohon jati telah dikenal dan memiliki nilai jual tinggi termasuk di atas semua jenis kayu di Eropa.
Penebangan hutan jati telah terjadi sejak abad ke-12 atau bahkan jauh sebelum itu. Pada masa kerajaan Majapahit eksploitasi kayu jati oleh armada laut kerajaan menjadi kapal dari kayu jati sebagai sarana angkutan. Pada waktu itu, sistem transportasi sungai masih lebih dominan dibanding sistem transportasi darat yang masih menggunakan hewan. Untuk mengontrol wilayah Majapahit yang luas, tentu harus didukung oleh armada laut yang kuat.
Pengelolaan dan eksploitasi hutan jati yang dilakukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda dimaksudkan untuk memasok bahan baku industri – industri kapal kayu milik pengusaha Cina dan Belanda yang tersebar di sepanjang pantai utara Jawa mulai dari Tegal, Jepara, Juwana, Rembang, Tuban, Gresik, sampai Pasuruan. Oleh sebab itulah pada masa tersebut industri kapal telah berkembang pesat di kota-kota pantai  yang menjadi kota industri terbesar.
Potensi hutan jati dari tahun ke tahun semakin menunjukan peningkatan yang pesat. Semakin banyak permintaan dalam jumlah besar terhadap kayu jati yang digunakan untuk industri maupun bahan bangunan membuat kayu jati semakin banyak dicari. Daerah – daerah penghasil kayu jati di Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi dan Bojonegoro menjadi pusat – pusat penghasil kayu jati pada saat ini. Di pulau jawa sebetulnya hanya dapat disebutkan satu jenis kayu saja yaitu  pohon jati (tectona grandis linn) yang hingga kini menjadi komoditi yang diperhitungkan.
Sebagai salah satu KPH terbesar di Jawa Timur KPH Ngawi memiliki peran penting dalam penghasil kayu jati di Jawa Timur. Pengelolaan hutan KPH Ngawi tersusun dan terencana sesuai dengan aturan pengelolaan hutan yang telah ditetapkan di KPH Ngawi. Mulai dari rencana jangka pendek hingga rencana jangka panjang dalam pengaturan hutan di wilayah KPH Ngawi. Eksploitasi yang berlangsung di wilayah hutan KPH Ngawi juga menjadi sorotan yang penting dalam sejarah pengelolaan hutan jati di wilayah KPH Ngawi. Hutan sendiri mempunyai arti yang fundamentil bagi manusia, baik untuk waktu lampau, sekarang dan yang akan datang. Memelihara dan melindungi hutan – hutan adalah kewajiban setiap bangsa.  Pemeliharaan hutan harus memperhatikan banyak hal. Eksploitasi hutan memerlukan banyak pekerjaan penyelenggaraan misalnya pembuatan jalan-jalan mobil, atau jalan – jalan rel.
Di KPH Ngawi, eksploitasi hasil hutan telah berlangsung lama dan telah melalui proses sejarahnya yang panjang dalam proses eksploitasi. Eksploitasi hutan di KPH Ngawi dapat dipisahkan menjadi empat tahap yaitu, persiapan tebangan, pelaksanaan tebangan, pengangkutan dan pengaturan hasil hutan di tempat penimbunan kayu (TPK).
Wilayah hutan KPH Ngawi memiliki areal hutan jati yang sangat luas, sehingga pelaksanaan eksploitasi juga dilakukan secara besar – besaran dalam jumlah yang besar pula. Pada tahun 1999 saja tercatat hutan jati di wilayah KPH Ngawi seluas 45.849,27 hektar. Masalah eksploitasi hasil hutan juga tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Di saat Indonesia mengalami kebakaran hutan paling parah pada tahun 1997/1998, pada waktu yang bersamaan terjadi pula krisis keuangan yang membawa dampak mengerikan pada aspek ekonomi, sosial dan politik diseluruh kehidupan negara khususnya penduduk Jawa pasca reformasi. Hal ini disebabkan karena penduduk Jawa sangat padat dan tingkat pendapatan penduduk di sekitar hutan sangat rendah, sehingga sebagian besar masyarakatnya mengandalakan sumber daya hutan untuk memebuhi hidupnya. Selain itu dalam proses eksploitasi hasil hutan adalah dengan mengikutsertakan sebanyak – banyaknya masyarakat sekitar hutan. Faktor geografis Kabupaten Ngawi juga mempengaruhi mobilitas penduduk karena letak hutan di wilayah KPH Ngawi yang strategis yang juga dilalui sungai Bengawan Solo merupakan jalur yang seringkali digunakan untuk lalu lintas perdagangan kayu dari Ngawi ke daerah lain yang dialiri Bengawan Solo. Selain itu Kabupeten Ngawi merupakan jalur penghubung antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Karena KPH Ngawi merupakan KPH yang cukup besar dalam produksi kayu jati dengan segala macam pengelolaannya hingga eksploitasi yang terjadi dari masa kolonial, kemerdekaan, orde lama, orde baru, reformasi, pasca reformasi hingga masa demokrasi maka, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang  eksploitasi hutan jati di KPH Ngawi pada tahun 1999 – 2008.

Keadaan Geografis dan Iklim KPH Ngawi
Letak geografis kabupaten Ngawi adalah 7ْ 21 -  7ْ 31 LS dan 110ْ 10 - 111ْ 40 LS. Secara administrasi wilayah di Kabupaten Ngawi terbagi menjadi 17 kacamatan dan 217 desa, dimana empat dari 217 desa tersebut merupakan kelurahan. Secara umum kabupaten Ngawi memiliki topografi wilayah berupa dataran tinggi dan tanah datar. Tercatat empat kecamatan terletak pada dataran tinggi yaitu Sine, Ngrambe, Jogorogo dan Kendal yang terletak di kaki gunung Lawu. Batas wilayah Kabupaten Ngawi adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara              : Kabupeten Grobogan, Kabupaten Blora dan Kabupaten Bojonegoro
Sebelah Timur             :  Kabupaten Madiun
Sebelah Selatan           :  Kabupaten Madiun dan Kabupaten Magetan
Sebelah Barat              :  Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sragen
Kabupaten Ngawi sebagian besar berada di sekitar pegunungan kendeng yang membujur hampir di seluruh pulau jawa. Sungai yang melewati wilayah kabupaten Ngawi adalah Bengawan Solo dan memiliki anak sungai yang melintasi wilayah Kedunggalar dan Walikukun. Keberadaan sungai tersebut pada awalnya mempunyai peranan penting dan merupakan satu – satunya jalan angkutan dari KPH Ngawi untuk sarana angkutan hasil hutan. Namun dengan berkembangnya angkutan lewat darat, baik lori maupun mobil, peranan Bengawan Solo sebagai jalan angkutan hasil hutan berangsur – angsur menjadi berkurang sampai akhirnya hilang sama sekali.
Kesatuan Pemangkuan Hutan Ngawi merupakan salah satu unit bisnis Perum Perhutani Unit II Jawa Timur yang berkedudukan di Kota Ngawi. Wilayah hutan yang dikelola oleh KPH Ngawi seluas 45.912,2 Ha. Areal hutan tersebut sebagian besar terletak di wilayah kabupaten Ngawi, sedangkan sebagian lagi terletak di wilayah kabupaten Madiun, Magetan, Bojonegoro dan Blora.
Batas – batas kawasan KPH Ngawi dengan kawasan dari KPH di sekitarnya dapat digambarkan sebagai berikut :
Sebelah Utara              : berbatasan dengan KPH Gundih, KPH Padangan, dan KPH Randublatung
Sebelah Timur             :  berbatasan dengan KPH Saradan, dan KPH Madiun
Sebelah Selatan           :  berbatasan dengan KPH Madiun dan Lawu Ds
Sebelah Barat              :  berbatasan dengan KPH Surakarta
            KPH Ngawi terletak pada jalur ekonomi yang strategis dengan intensitas perhubungan yang tinggi dan lancar karena dilintasi oleh jalan raya dan jalan kereta api yang menghubungkan kota Madiun dan Surakarta. Kedua kota tersebut merupakan penyerap hasil hutan KPH Ngawi yang cukup besar. Hasil hutan tersebut berupa kayu pertukangan, kayu bakar maupun hasil hutan lainnya. Masyarakat di sekitar hutan KPH Ngawi sudah terbiasa untuk menjual kayu bakar ke wilayah Surakarta dengan menggunakan angkutan mobil  maupun kereta api.
Kapasitas daerah setempat untuk menyerap hasil kayu pertukangan juga cukup besar, karena di sepanjang jalur jalan raya Ngawi – Banjarejo yang merupakan jurusan menuju Surakarta banyak terdapat perusahaan – perusahaan laadbak. Wilayah Ngawi sebelah timur banyak terdapat tempat pembakaran gamping yang memerlukan kayu bakar untuk bahan bakar dalam produksi pembuatan gamping. Selain itu di Ngawi sebelah selatan terdapat pabrik gula yang besar yaitu pabrik gula Soedhono yang juga membutuhkan kayu bakar untuk bahan bakar dalam produksi gula, bahkan sekitar  7 km di sebelah selatan pabrik gula Soedhono juga terdapat sebuah pabrik gula lagi yaitu pabrik gula Purwodadi.
KPH Ngawi dilewati oleh jalan kereta api jurusan Madiun – Surakarta. Sejak tahun 1979 Perhutani sudah tidak menggunakan jalan tersebut untuk kepentingannya. Namun, jalan tersebut tetap berperan penting karena jalan kereta api tersebut digunakan oleh pihak lain untuk pengangkutan hasil hutan dari KPH Ngawi ke Madiun atau Surabaya ke arah Timur, dan ke arah barat yaitu Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Bandung dan Jakarta. Perhutani KPH Ngawi sendiri memiliki jalan – jalan lori yang cukup panjang. Pada tahun antara 1974 – 1979 jalan – jalan lori KPH Ngawi ini memiliki peran yang sangat penting dalam pengangkutan hasil hutan. Akan tetapi semenjak tahun 1979 hingga saat ini jalan lori tersebut tidak lagi dipergunakan karena banyak lori yang berangsur – angsur mengalami kerusakan dan peranan lori digantikan oleh jalan – jalan mobil atau melalui jalan darat.
Sejarah Pengelolaan Hutan Jati KPH Ngawi
Pengelolaan hutan jati di KPH Ngawi telah mengalami banyak perubahan mulai masa kolonial Belanda hingga sekarang. Latar belakang dari pengelolaan hutan jati di KPH Ngawi tidak lepas dari pengelolaan hutan di Jawa yang sudah ada sejak jaman VOC hingga masa pemerintahan kolonial Belanda. Menurut Simon (2005) sejarah pengelolaan hutan di Indonesia melalui 2 tahap yaitu tahap timber extraction ( tahun 800 – 1800 ) dan tahap timber management ( tahun 1800 – sekarang ). Dalam tahap timber extraction terjadi penebangan kayu khususnya jati di Jawa untuk tujuan kepentingan ekonomi Belanda. Sedang tahap timber management bertujuan memperbaiki hutan (terutama hutan jati di Jawa) yang telah mengalami kerusakan pada waktu masa timber extraction. Pada tahap ini telah diterapkan berbagai konsep pengelolaan dan penataan hutan antara lain konsep planning unit dan management unit dalam rangka menjamin kelestariannya.
 Dapat dikatakan bahwa pengelolaan hutan secara modern pertama di Indonesia berawal dari pengelolaan jati di Jawa ini. Sejak pertengahan hingga akhir abad ke 19, pemerintah kolonial Belanda menetapkan daerah – daerah bukan pertanian dan bukan perkebunan sebagai kawasan hutan untuk ditanami dengan jati. Kawasan hutan terbatas pada tempat – tempat yang kurang subur dan curam serta terletak jauh dari pusat – pusat pemukiman. Sebuah Undang – Undang Kehutanan diperkenalkan pada tahun 1865. Undang – Undang itu menghapuskan bentuk – bentuk kerja paksa. Sedangkan pada tahun 1874 terbitlah Undang-Undang baru yang mencakup pernyataan Domain Verklaring, yaitu semua tanah termasuk kawasan hutan dikuasai dan diurus oleh Negara. Enam tahun kemudian, hutan – hutan produksi jati di Jawa telah dibagi menjadi 13 distrik hutan jati dibawah perusahaan yang disebut Djatibedrijf (Perusahaan Jati Negara). Rencana perusahaan jati pertama selesai dibuat pada tahun 1890 dibawah pimpinan rimbawan A.E.J Bruinsma. Tujuh tahun kemudian terbentuklah Houtvestrij pertama, sementara yang terakhir dibuat sekitar tahun 1932. Houtvestrij merupakan pengelompokan luas lahan hutan tertentu sebagai suatu satuan perencanaan daur produksi, yaitu sejak tahap menanam pohon, ke tahap pemeliharaan, hingga ke tahap pemanenan. Houtvestrij kini dikenal sebagai KPH ( Kesatuan Pemangkuan Hutan ). Berpindahnya  pengelolaan hutan dari VOC ke tangan pemerintah Kolonial Belanda pada sekitar tahun 1808, tidak menjadikan hutan jati lebih baik nasibnya. Hingga awal abad ke 20, eksploitasi tidak teratur dan kerusakan – kerusakan hutan terus terjadi. Baru sekitar abad ke 20 diletakkan dasar – dasar pengelolaan jati modern yaitu, pembagian atas satuan – satuan wilayah pengelolaan hutan, penataan hutan, pengaturan hasil, dan penelitian – penelitian mengenai hutan. Pada tahun 1930 mulai diketahui daftar luas hutan jati di Jawa secara pasti sebagai hasil kerja dinas Tata Hutan. Luas hutan Jawa pada tahun 1933 seluas 801.052 Ha dan pada akhir tahun 1940 seluas 824.049 Ha, dimana 95 % dari luas tersebut sudah ditata batas secara permanen.
Pasca kemerdekaan, pengelolaan hutan jati di Jawa dialihkan kepada Jawatan Kehutanan. Sejak tahun 1961 pengelolaam semua hutan di Jawa diluar cagar alam, suaka margasatwa, hutan wisata, dan taman nasional dipercayakan kepada perusahaan pemerintah yaitu Perhutani.
Pengelolaan Hutan Jati KPH Ngawi
Sesuai dengan kondisinya, KPH Ngawi ditetapkan sebagai Kelas Perusahaan Jati. Secara umum potensi Produksi Sumber Daya Hutan Perum Perhutani dikelompokan menjadi tiga (3) bagian dasar , yaitu:
a.       Tegakan, berupa tegakan Jati, Pinus, Mahoni, Damar dan lain sebagainya.
b.      Bukan Tegakan, berupa getah pinus, getah damar, daun kayu putih, daun murbei, bambu, lak, kopi, cengkeh, kelapa, padi, rotan, sarang burung walet, madu, penangkaran hewan dan lain sebagainya.
c.       Potensi lain seperti, produksi air dan jasa lingkungan seperti air bersih, air irigasi, wisata hutan, agrowisata dan lain – lain.
Pengelolaan hutan jati di wilayah KPH Ngawi memiliki sejarah yang panjang dan terperinci mulai dari sejarah perusahaan, struktur organisasi, pengusahaan hingga hasil yang diperoleh dari pengusahaan tersebut. Seperti tersebut di atas bahwa struktur organisasi KPH Ngawi memiliki komponen – komponen penting dalam pengusahaan hasil hutan. Dalam pengusahaannya KPH Ngawi menempuh beberapa tahap sebelum dapat melakukan proses produksi dari hasil hutan di wilayah KPH Ngawi.
Proses yang pertama adalah melakukan penanaman, dalam proses penanaman harus memperhatikan beberapa tahap yaitu memperhatikan luas tanaman, biaya tanaman dan cara penanaman. Pembuatan tanaman dilaksanakan pada tanah kosong bekas tebangan habis biasa (tebangan A2) dan tanah kosong bekas tebangan pada lapangan yang tidak produktif (tebangan B).
Eksploitasi Hutan
            Pekerjaan eksploitasi hasil hutan di wilayah hutan KPH Ngawi dapat dipisahkan menjadi empat tahap yaitu, persiapan, pelaksanaan tebangan, pengangkutan dan pengaturan hasil hutan di tempat penimbunan kayu (TPK).
            Jenis pekerjaan dalam persiapan tebangan antara lain adalah pekerjaan teresan, pembuatan blok tebangan, pengukuran diameter dan penomeran pohon, pembuatan rumah babagan dan sebagainya.
            Kegiatan teresan merupakan salah satu rangkaian kegiatan sebelum penebangan, yaitu dengan mematikan pohon – pohon yang akan ditebang dengan maksud untuk memperoleh kwalitas produksi batang pohon yang baik serta memudahkan saat pemungutan dan pengangkutan produksi karena batang pohonnya telah mati dan kering. Teresan dilakukan khusus untuk Kelas Perusahaan Jati.
Eksploitasi Tenaga Kerja
Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia. Pengelolaan dan pemanfaatan hutan beserta hasilnya seyogyanya mempertimbangkan asas manfaat dan optimal, dalam arti untuk sebesar – besar kepentingan rakyat banyak. Selain itu juga harus memperhatikan dan menjaga kelangsungan fungsi hutan dalam upaya melestarikan lingkungan hidup. Oleh karena itu dalam proses pemanenan dan pemanfaatan hasil hutan harus menyertakan masyarakat sekitar hutan dalam pengerjaannya.
Eksploitasi yang terjadi di KPH Ngawi telah berlangsung dari tahun ke tahun dan memiliki proses yang hampir sama dalam pengerjaannya. Selama eksploitasi berlangsung komponen – komponen yang vital dan sangat diperlukan antara lain adalah alat – alat penebangan, angkutan, biaya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah tenaga kerja atau pada tahun 1965 ke belakang lebih dikenal dengan sebutan pekerja Blandong. Tenaga kerja dalam eksploitasi hutan jati di KPH Ngawi secara penuh menggunakan tenaga dari masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Latar belakang dari pemakaian tanaga masyarakat sebagai pekerja berawal dari tenaga kerja yang dipakai dalam pengusahaan hutan di jawa dilakukan dengan sistem padat karya atau lebih menggunakan tenaga manusia, sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Sistem eksploitasi yang dilaksanakan adalah sistem eksploitasi non mekanis, artinya eksploitasi tidak menggunakan tenaga mesin, tetapi lebih banyak menggunakan tenaga manusia.
Eksploitasi hutan jati yang berlangsung di wilayah hutan KPH Ngawi pada tahun 1999 – 2008 menjadi acuan dalam perencanaan dalam proses eksploitasi pada tahun berikutnya. Seperti telah disebutkan pada bab – bab sebelumnya bahwa komponen dari eksploitasi itu sendiri sangat banyak dan memerlukan perencanaan yang matang dalam pengerjaannya maka, KPH Ngawi juga tidak sembarangan dalam merencanakan segala sesuatu yang berhubungan dengan eksploitasi. Tenaga kerja yang diperlukan selama pelaksanaan eksploitasi akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan oleh KPH Ngawi. Oleh karena itu perincian dalam eksploitasi hasil hutan terutama hutan jati yang menjadi komoditi KPH Ngawi merupakan komponen yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Adanya program – program kehutanan yang berbasis masyarakat di KPH Ngawi tidak menyulitkan KPH Ngawi untuk mencari tenaga kerja dalam proses eksploitasi. Contohnya adalah program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Administratur  selaku pucuk pimpinan di KPH yang mewakili KPH Ngawi dan Bupati, wakil dari Pemerintah Kabupaten yang memiliki wilayah administratif, secara resmi telah menjalin kerjasama yang dituangkan dalam surat perjanjian PHBM. Pada intinya seua kegiatan diserahkan kepada masyarakat dalam hal non teknis, sedang rincian dan aturan kegiatan terdapat dalam surat perjanjian PHBM.
Jumlah tenaga kerja yang diperlukan selama proses eksploitasi sangat bervariasi menurut jenis pekerjaannya dan jenis hasil hutan yang dihasilkan. Pekerjaan tersebut dibedakan menjadi 3 jenis yaitu, tenaga kerja tebang dan pembikinan hasil hutan, tenaga kerja sarad dan tenaga kerja angkut. Keempat jenis pekerjaan tersebut memiliki tugas dan upah yang berbeda – beda.
Yang pertama yaitu tenaga kerja tebang, yang bertugas untuk menebang dan memotong kayu, serta membagi batang kayu kedalam sortimen – sortimen hasil hutan. Pekerjaan tebang diawasi langsung oleh seorang petugas yang khusus mengawasi proses tebang pohon yang disebut mandor tebang. Mandor tebang memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengawasan penebangan hingga pengangkutan. Teknik yang digunakan dalam penebangan harus diketahui secara baik oleh seorang mandor tebang. Seperti contoh teknik rebah pohon dan jarak tebang pohon. Upah yang diberikan selama tebangan tergantung pada kemampuan tenaga kerja untuk menebang banyaknya pohon dan mengangkutnya ke tempat penampungan – penampungan hasil hutan.
Berikutnya adalah tenaga kerja untuk pengangkutan yaitu, tenaga kerja yang bertugas sebagai pengangkut kayu dari tempat tebang ke tempat antara atau tempat penimbunan sementara (TPS). Tenaga kerja semacam ini biasanya menggunakan lori dan truk sebagai sarana pengangkutan kayu. Jika di Cepu pengangkutan kayu habis tebang menggunakan lori yang ditarik oleh lokomotif atau mesin,  berbeda dengan tenaga penggerak lori yang ada di KPH Ngawi. KPH Ngawi dalam menggunakan sarana pengangkut kayu dengan lori digerakkan oleh tenaga manusia. Dengan kapasitas sekali lori dilakukan oleh 4 sampai dengan 6 orang sebagai tenaga penggerak. Volume atau jumlah kayu yang diangkut dalam satu kali lori sebanyak 5³ kayu jati. Akan tetapi, dewasa ini pekerjaan eksploitasi dengan menggunakan tenaga lori dan sarad mulai digantikan dengan alat yang lebih modern dibanding tahun – tahun sebelumnya. Sebagai tenaga angkut lori sudah tidak diberlakukan lagi mengingat semakin  banyaknya alat transportasi yang lebih efektif seperti truk, baik truk Perhutani maupun swasta.
Tenaga kerja yang terakhir yaitu, tenaga kerja pembikinan hasil hutan. Tenaga kerja ini dibayar berdasarkan hasil pekerjaannya dalam pembikinan hasil hutan. Tenaga kerja  dalam proses eksploitasi memanfaatkan masyarakat desa hutan yang telah ahli dibidangnya. Berikut ini merupakan data mengenai keterlibatan masyarakat desa hutan dan jumlah pendapatan yang didapat selama mengikuti program dari Perhutani:
Ksimpulan
            Dari seluruh uraian yang dipaparkan dalam studi ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Kesatuan Pemangkuan Hutan Ngawi merupakan salah satu KPH memiliki areal hutan yang luas dan telah ditetapkan sebagai hutan produksi atau Kelas Perusahaan Jati ( tectona grandis ).
            Eksploitasi  di KPH Ngawi telah berlangsung lama dan memiliki sejarah yang panjang dalam prosesnya, khususnya pada tahun 1999 – 2008. Adanya Undang – Undang baru tentang kehutanan yaitu, Undang – Undang Kehutanan No.41 Tahun 1999 menjadikan sistem pengelolaan hutan di Jawa khususnya menjadi berubah.
               KPH Ngawi dalam melakukan eksploitasi memanfaatkan tenaga kerja yang berasal dari masyarakat karena sebagian besar hutan yang dimiliki oleh KPH Ngawi merupakan hutan yang disekitarnya terdapat desa – desa hutan tempat tinggal masyarakat sekitar. Oleh karena itu untuk lebih efisen KPH Ngawi memanfaatkan tenaga dari masyarakat sekitar hutan untuk melakukan pekerjaan hutan dan sebagian dari mereka merupakan pekerja ahli dalam bidang pekerjaan hutan.

 
            Program – program kemasyarakatan yang diterapkan oleh KPH Ngawi seperti PHBM dirasa telah mampu membawa manfaat yang besar bagi masyarakat sekitar hutan pada khususnya karena kerjasama yang dijalin antara Perhutani KPH Ngawi dengan masyarakat membawa keuntungan bagi masyarakat itu sendiri maupun Perhutani KPH Ngawi.
               Pekerjaan yang diberikan kepada masyarakat desa hutan telah mendatangkan manfaat yang besar dalam bidang ekonomi. Setiap pekerjaan yang diberikan oleh Perhutani Ngawi memiliki upah yang berbeda – beda yang disesuaikan dengan tingkat kesulitan pekerjaannya. Berbagai penyuluhan yang diberikan oleh KPH Ngawi dalam rangka menjaga kelestarian hutan seperti memberikan pengetahuan kepada masyarakat sekitar hutan dalam hal tanaman dan pemanfaatannya tanpa harus merusak lingkungan.
               Dampak dari pengusahaan hutan yang dilakukan oleh KPH Ngawi telah menimbulkan pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah masyarakat diberikan ijin untuk menggunakan lahan di tegakan jati muda dengan menanam tanaman sela atau tumpangsari. Sedangkan pengaruh negatifnya adalah kurang memahami tentang aturan penanaman tanaman sela yang benar dan akibatnya dapat merusak tanaman pokok yaitu jati, terjadinya banjir dan tanah longsor karena menurunnya fungsi hutan. Selain itu karena tingkat pendapatan yang cenderung statis sedangkan kebutuhan meningkat membuat masyarakat di sekitar hutan melakukan pencurian kayu di hutan tanpa memperhatikan akibatnya.
               KPH Ngawi telah berupaya untuk menanggulangi segala dampak negatif yang mungkin terjadi selama pengelolaan hutan terlebih dalam proses eksploitasi. Akibat eksploitasi hutan akan meninggalkan lahan kering yang menyebabkan erosi. Selain itu akibat penjarahan hutan pada tahun 1997 hingga 2003 di bagian hutan Ngandong telah membawa dampak kerusakan lingkungan yang cukup parah di wilayah hutan KPH Ngawi. Oleh sebab itu Perhutani KPH Ngawi telah memberikan solusi guna menanggulangi dampak tersebut dengan menanam tegakan baru dengan tehnik dan metode yang berlaku di bidang kehutanan agar keseimbangan alam tidak terganggu. Selain itu tujuan dari Perhutani KPH Ngawi adalah untuk mewujudkan hutan lestari dan menjadi pengelola hutan lestari untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar