EKSPLOITASI HUTAN
JATI KPH NGAWI TAHUN 1999 – 2008
ARTIKEL
Oleh :
YULINDA WAHYU H.D
084284046
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
2012
EKSPLOITASI HUTAN
JATI KPH NGAWI TAHUN 1999 – 2008
ABSTRAK
YULINDA W.H.D
Di Kabupaten Ngawi terdapat hutan
jati yang sangat luas. Hutan tersebut dikelola dibawah kendali sebuah wadah
yaitu, Kesatuan Pemangkuan Hutan Ngawi atau KPH Ngawi. Secara umum KPH Ngawi
adalah salah satu KPH yang ada di Unit II Jawa Timur. Sebagai salah satu KPH
terbesar di Jawa Timur dengan hutan jati yang berkualitas, maka KPH Ngawi
ditetapkan sebagai Kelas Hutan Jati atau Perusahaan Produksi Jati.
Wilayah
hutan KPH Ngawi memiliki areal hutan jati yang sangat luas, sehingga
pelaksanaan eksploitasi juga dilakukan secara besar – besaran dalam jumlah yang
besar pula. Pada tahun 1999 saja tercatat hutan jati di wilayah KPH Ngawi
seluas 45.849,27 hektar. Masalah eksploitasi hasil hutan juga tidak lepas dari
masalah sosial ekonomi. Berdasarkan latar belakang yang ada maka peneliti
tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai eksploitasi yang terjadi di KPH
Ngawi dengan rentang waktu 1999 – 2008. Rumusan masalahnya adalah sebagai
berikut, bagaimana eksploitasi hutan jati di KPH Ngawi tahun 1999 – 2008? dan bagaimana
dampak eksploitasi hutan jati di KPH Ngawi terhadap kehidupan sosial, ekonomi
dan ekologi masyarakat sekitar hutan?. Penelitian ini adalah penelitian
sejarah, oleh karena itu metode yang digunakan adalah metode penelitian
sejarah, antara lain heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi untuk
menelusuri sumber.
Hasil penelitian adalah sebagai berikut, eksploitasi yang
berlangsung di KPH Ngawi memiliki serangkaian bentuk yang terinci dan terencana
sesuai dengan pekerjaan yang terdapat dalam eksploitasi. Mulai dari eksploitasi
hutan hingga tenaga kerja. Dampak atau pengaruhnya cukup besar bagi masyarakat,
terutama masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Di desa – desa hutan
masyarakat hidup dengan mengandalkan sumber daya hutan. Pemanfaatan yang salah
seringkali menimbulkan dampak yang merugikan bagi Perhutani KPH Ngawi dalam
mengelola hutan. Oleh karena itu Perhutani memanfaatkan masyarakat sekitar
hutan untuk menjadi tenaga kerja di hutan. Dari proses perekrutan tenaga kerja
dari masyarakat sekitar hutan akan membawa dampak yang positif bagi masyarakat
sekitar hutan dengan terbukanya lapangan pekerjaan yang mampu meningkatkan
pendapatan mereka. Tindakan lain yang dilakukan oleh Perhutani KPH Ngawi adalah
dengan memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat sekitar hutan
dalam bidang kehutanan dan pemanfaatan sumber daya yang benar.
Kata Kunci :
Eksploitasi, Hutan Jati, KPH Ngawi
Pendahuluan
Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa, mempunyai hutan hujan
tropis yang luas dan lebat. Diantara hutan tropis tersebut, yang sangat
terkenal adalah hutan kayu jati ( tectona grandis ), pohon yang tingginya
mencapai 40 – 45 meter. Memiliki batang lurus dan percabangannya muncul jauh
dari permukaan tanah. Oleh karena itu selama berabad – abad pohon jati telah
dikenal dan memiliki nilai jual tinggi termasuk di atas semua jenis kayu di
Eropa.
Penebangan
hutan jati telah terjadi sejak abad ke-12 atau bahkan jauh sebelum itu. Pada
masa kerajaan Majapahit eksploitasi kayu jati oleh armada laut kerajaan menjadi
kapal dari kayu jati sebagai sarana angkutan. Pada waktu itu, sistem
transportasi sungai masih lebih dominan dibanding sistem transportasi darat
yang masih menggunakan hewan. Untuk mengontrol wilayah Majapahit yang luas,
tentu harus didukung oleh armada laut yang kuat.
Pengelolaan
dan eksploitasi hutan jati yang dilakukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda
dimaksudkan untuk memasok bahan baku industri – industri kapal kayu milik
pengusaha Cina dan Belanda yang tersebar di sepanjang pantai utara Jawa mulai
dari Tegal, Jepara, Juwana, Rembang, Tuban, Gresik, sampai Pasuruan. Oleh sebab
itulah pada masa tersebut industri kapal telah berkembang pesat di kota-kota
pantai yang menjadi kota industri
terbesar.
Potensi hutan jati dari tahun ke tahun semakin menunjukan peningkatan
yang pesat. Semakin banyak permintaan dalam jumlah besar terhadap kayu jati
yang digunakan untuk industri maupun bahan bangunan membuat kayu jati semakin
banyak dicari. Daerah – daerah penghasil kayu jati di Jawa Timur seperti
Madiun, Ngawi dan Bojonegoro menjadi pusat – pusat penghasil kayu jati pada
saat ini. Di pulau jawa sebetulnya hanya dapat disebutkan satu jenis kayu saja
yaitu pohon jati (tectona grandis linn)
yang hingga kini menjadi komoditi yang diperhitungkan.
Sebagai salah satu KPH terbesar di Jawa Timur KPH Ngawi memiliki peran
penting dalam penghasil kayu jati di Jawa Timur. Pengelolaan hutan KPH Ngawi
tersusun dan terencana sesuai dengan aturan pengelolaan hutan yang telah ditetapkan
di KPH Ngawi. Mulai dari rencana jangka pendek hingga rencana jangka panjang
dalam pengaturan hutan di wilayah KPH Ngawi. Eksploitasi yang berlangsung di
wilayah hutan KPH Ngawi juga menjadi sorotan yang penting dalam sejarah
pengelolaan hutan jati di wilayah KPH Ngawi. Hutan sendiri mempunyai arti yang
fundamentil bagi manusia, baik untuk waktu lampau, sekarang dan yang akan
datang. Memelihara dan melindungi hutan – hutan adalah kewajiban setiap bangsa.
Pemeliharaan hutan harus memperhatikan
banyak hal. Eksploitasi hutan memerlukan banyak pekerjaan penyelenggaraan
misalnya pembuatan jalan-jalan mobil, atau jalan – jalan rel.
Di KPH
Ngawi, eksploitasi hasil hutan telah berlangsung lama dan telah melalui proses
sejarahnya yang panjang dalam proses eksploitasi. Eksploitasi hutan di KPH
Ngawi dapat dipisahkan menjadi empat tahap yaitu, persiapan tebangan,
pelaksanaan tebangan, pengangkutan dan pengaturan hasil hutan di tempat
penimbunan kayu (TPK).
Wilayah
hutan KPH Ngawi memiliki areal hutan jati yang sangat luas, sehingga
pelaksanaan eksploitasi juga dilakukan secara besar – besaran dalam jumlah yang
besar pula. Pada tahun 1999 saja tercatat hutan jati di wilayah KPH Ngawi
seluas 45.849,27 hektar. Masalah eksploitasi hasil hutan juga tidak lepas dari
masalah sosial ekonomi. Di saat Indonesia mengalami kebakaran hutan paling
parah pada tahun 1997/1998, pada waktu yang bersamaan terjadi pula krisis
keuangan yang membawa dampak mengerikan pada aspek ekonomi, sosial dan politik diseluruh
kehidupan negara khususnya penduduk Jawa pasca reformasi. Hal ini disebabkan
karena penduduk Jawa sangat padat dan tingkat pendapatan penduduk di sekitar
hutan sangat rendah, sehingga sebagian besar masyarakatnya mengandalakan sumber
daya hutan untuk memebuhi hidupnya. Selain itu dalam proses eksploitasi hasil
hutan adalah dengan mengikutsertakan sebanyak – banyaknya masyarakat sekitar
hutan. Faktor geografis Kabupaten Ngawi juga mempengaruhi mobilitas penduduk
karena letak hutan di wilayah KPH Ngawi yang strategis yang juga dilalui sungai
Bengawan Solo merupakan jalur yang seringkali digunakan untuk lalu lintas
perdagangan kayu dari Ngawi ke daerah lain yang dialiri Bengawan Solo. Selain
itu Kabupeten Ngawi merupakan jalur penghubung antara Jawa Tengah dengan Jawa
Timur. Karena KPH Ngawi merupakan KPH yang cukup besar dalam produksi kayu jati
dengan segala macam pengelolaannya hingga eksploitasi yang terjadi dari masa
kolonial, kemerdekaan, orde lama, orde baru, reformasi, pasca reformasi hingga
masa demokrasi maka, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang eksploitasi hutan jati di KPH Ngawi pada
tahun 1999 – 2008.
Keadaan Geografis dan Iklim KPH Ngawi
Letak geografis kabupaten Ngawi adalah 7ْ 21 - 7ْ 31 LS dan 110ْ 10 - 111ْ 40 LS. Secara administrasi
wilayah di Kabupaten Ngawi terbagi menjadi 17 kacamatan dan 217 desa, dimana
empat dari 217 desa tersebut merupakan kelurahan. Secara umum kabupaten Ngawi
memiliki topografi wilayah berupa dataran tinggi dan tanah datar. Tercatat
empat kecamatan terletak pada dataran tinggi yaitu Sine, Ngrambe, Jogorogo dan
Kendal yang terletak di kaki gunung Lawu. Batas wilayah Kabupaten Ngawi adalah
sebagai berikut :
Sebelah Utara :
Kabupeten Grobogan, Kabupaten Blora dan Kabupaten Bojonegoro
Sebelah Timur : Kabupaten Madiun
Sebelah Selatan : Kabupaten Madiun dan Kabupaten Magetan
Sebelah Barat : Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sragen
Kabupaten Ngawi
sebagian besar berada di sekitar pegunungan kendeng yang membujur hampir di
seluruh pulau jawa. Sungai yang melewati wilayah kabupaten Ngawi adalah
Bengawan Solo dan memiliki anak sungai yang melintasi wilayah Kedunggalar dan
Walikukun. Keberadaan sungai tersebut pada awalnya mempunyai peranan penting
dan merupakan satu – satunya jalan angkutan dari KPH Ngawi untuk sarana
angkutan hasil hutan. Namun dengan berkembangnya angkutan lewat darat, baik
lori maupun mobil, peranan Bengawan Solo sebagai jalan angkutan hasil hutan
berangsur – angsur menjadi berkurang sampai akhirnya hilang sama sekali.
Kesatuan Pemangkuan
Hutan Ngawi merupakan salah satu unit bisnis Perum Perhutani Unit II Jawa Timur
yang berkedudukan di Kota Ngawi. Wilayah hutan yang dikelola oleh KPH Ngawi
seluas 45.912,2 Ha. Areal hutan tersebut sebagian besar terletak di wilayah kabupaten
Ngawi, sedangkan sebagian lagi terletak di wilayah kabupaten Madiun, Magetan,
Bojonegoro dan Blora.
Batas – batas kawasan
KPH Ngawi dengan kawasan dari KPH di sekitarnya dapat digambarkan sebagai
berikut :
Sebelah Utara :
berbatasan dengan KPH Gundih, KPH Padangan, dan KPH Randublatung
Sebelah Timur : berbatasan dengan KPH Saradan, dan KPH Madiun
Sebelah Selatan : berbatasan dengan KPH Madiun dan Lawu Ds
Sebelah Barat : berbatasan dengan KPH Surakarta
KPH
Ngawi terletak pada jalur ekonomi yang strategis dengan intensitas perhubungan
yang tinggi dan lancar karena dilintasi oleh jalan raya dan jalan kereta api
yang menghubungkan kota Madiun dan Surakarta. Kedua kota tersebut merupakan
penyerap hasil hutan KPH Ngawi yang cukup besar. Hasil hutan tersebut berupa
kayu pertukangan, kayu bakar maupun hasil hutan lainnya. Masyarakat di sekitar
hutan KPH Ngawi sudah terbiasa untuk menjual kayu bakar ke wilayah Surakarta
dengan menggunakan angkutan mobil maupun
kereta api.
Kapasitas daerah
setempat untuk menyerap hasil kayu pertukangan juga cukup besar, karena di
sepanjang jalur jalan raya Ngawi – Banjarejo yang merupakan jurusan menuju
Surakarta banyak terdapat perusahaan – perusahaan laadbak. Wilayah Ngawi
sebelah timur banyak terdapat tempat pembakaran gamping yang memerlukan kayu
bakar untuk bahan bakar dalam produksi pembuatan gamping. Selain itu di Ngawi
sebelah selatan terdapat pabrik gula yang besar yaitu pabrik gula Soedhono yang
juga membutuhkan kayu bakar untuk bahan bakar dalam produksi gula, bahkan
sekitar 7 km di sebelah selatan pabrik
gula Soedhono juga terdapat sebuah pabrik gula lagi yaitu pabrik gula
Purwodadi.
KPH Ngawi dilewati oleh
jalan kereta api jurusan Madiun – Surakarta. Sejak tahun 1979 Perhutani sudah
tidak menggunakan jalan tersebut untuk kepentingannya. Namun, jalan tersebut
tetap berperan penting karena jalan kereta api tersebut digunakan oleh pihak
lain untuk pengangkutan hasil hutan dari KPH Ngawi ke Madiun atau Surabaya ke
arah Timur, dan ke arah barat yaitu Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Bandung
dan Jakarta. Perhutani KPH Ngawi sendiri memiliki jalan – jalan lori yang cukup
panjang. Pada tahun antara 1974 – 1979 jalan – jalan lori KPH Ngawi ini
memiliki peran yang sangat penting dalam pengangkutan hasil hutan. Akan tetapi
semenjak tahun 1979 hingga saat ini jalan lori tersebut tidak lagi dipergunakan
karena banyak lori yang berangsur – angsur mengalami kerusakan dan peranan lori
digantikan oleh jalan – jalan mobil atau melalui jalan darat.
Sejarah Pengelolaan Hutan Jati KPH Ngawi
Pengelolaan hutan jati di KPH Ngawi telah
mengalami banyak perubahan mulai masa kolonial Belanda hingga sekarang. Latar
belakang dari pengelolaan hutan jati di KPH Ngawi tidak lepas dari pengelolaan
hutan di Jawa yang sudah ada sejak jaman VOC hingga masa pemerintahan kolonial
Belanda. Menurut Simon (2005) sejarah pengelolaan hutan di Indonesia melalui 2
tahap yaitu tahap timber extraction ( tahun 800 – 1800 ) dan tahap timber
management ( tahun 1800 – sekarang ). Dalam tahap timber extraction terjadi
penebangan kayu khususnya jati di Jawa untuk tujuan kepentingan ekonomi
Belanda. Sedang tahap timber management bertujuan memperbaiki hutan (terutama
hutan jati di Jawa) yang telah mengalami kerusakan pada waktu masa timber
extraction. Pada tahap ini telah diterapkan berbagai konsep pengelolaan dan
penataan hutan antara lain konsep planning unit dan management unit dalam
rangka menjamin kelestariannya.
Dapat dikatakan bahwa pengelolaan hutan secara
modern pertama di Indonesia berawal dari pengelolaan jati di Jawa ini. Sejak
pertengahan hingga akhir abad ke 19, pemerintah kolonial Belanda menetapkan
daerah – daerah bukan pertanian dan bukan perkebunan sebagai kawasan hutan
untuk ditanami dengan jati. Kawasan hutan terbatas pada tempat – tempat yang
kurang subur dan curam serta terletak jauh dari pusat – pusat pemukiman. Sebuah
Undang – Undang Kehutanan diperkenalkan pada tahun 1865. Undang – Undang itu
menghapuskan bentuk – bentuk kerja paksa. Sedangkan pada tahun 1874 terbitlah
Undang-Undang baru yang mencakup pernyataan Domain Verklaring, yaitu semua
tanah termasuk kawasan hutan dikuasai dan diurus oleh Negara. Enam tahun
kemudian, hutan – hutan produksi jati di Jawa telah dibagi menjadi 13 distrik
hutan jati dibawah perusahaan yang disebut Djatibedrijf (Perusahaan Jati
Negara). Rencana perusahaan jati pertama selesai dibuat pada tahun 1890 dibawah
pimpinan rimbawan A.E.J Bruinsma. Tujuh tahun kemudian terbentuklah Houtvestrij
pertama, sementara yang terakhir dibuat sekitar tahun 1932. Houtvestrij
merupakan pengelompokan luas lahan hutan tertentu sebagai suatu satuan
perencanaan daur produksi, yaitu sejak tahap menanam pohon, ke tahap
pemeliharaan, hingga ke tahap pemanenan. Houtvestrij kini dikenal sebagai KPH (
Kesatuan Pemangkuan Hutan ). Berpindahnya
pengelolaan hutan dari VOC ke tangan pemerintah Kolonial Belanda pada
sekitar tahun 1808, tidak menjadikan hutan jati lebih baik nasibnya. Hingga
awal abad ke 20, eksploitasi tidak teratur dan kerusakan – kerusakan hutan terus
terjadi. Baru sekitar abad ke 20 diletakkan dasar – dasar pengelolaan jati
modern yaitu, pembagian atas satuan – satuan wilayah pengelolaan hutan,
penataan hutan, pengaturan hasil, dan penelitian – penelitian mengenai hutan.
Pada tahun 1930 mulai diketahui daftar luas hutan jati di Jawa secara pasti
sebagai hasil kerja dinas Tata Hutan. Luas hutan Jawa pada tahun 1933 seluas
801.052 Ha dan pada akhir tahun 1940 seluas 824.049 Ha, dimana 95 % dari luas tersebut
sudah ditata batas secara permanen.
Pasca kemerdekaan,
pengelolaan hutan jati di Jawa dialihkan kepada Jawatan Kehutanan. Sejak tahun
1961 pengelolaam semua hutan di Jawa diluar cagar alam, suaka margasatwa, hutan
wisata, dan taman nasional dipercayakan kepada perusahaan pemerintah yaitu
Perhutani.
Pengelolaan
Hutan Jati KPH Ngawi
Sesuai dengan
kondisinya, KPH Ngawi ditetapkan sebagai Kelas Perusahaan Jati. Secara umum
potensi Produksi Sumber Daya Hutan Perum Perhutani dikelompokan menjadi tiga
(3) bagian dasar , yaitu:
a.
Tegakan, berupa tegakan Jati, Pinus,
Mahoni, Damar dan lain sebagainya.
b.
Bukan Tegakan, berupa getah pinus, getah
damar, daun kayu putih, daun murbei, bambu, lak, kopi, cengkeh, kelapa, padi,
rotan, sarang burung walet, madu, penangkaran hewan dan lain sebagainya.
c.
Potensi lain seperti, produksi air dan
jasa lingkungan seperti air bersih, air irigasi, wisata hutan, agrowisata dan
lain – lain.
Pengelolaan
hutan jati di wilayah KPH Ngawi memiliki sejarah yang panjang dan terperinci
mulai dari sejarah perusahaan, struktur organisasi, pengusahaan hingga hasil
yang diperoleh dari pengusahaan tersebut. Seperti tersebut di atas bahwa
struktur organisasi KPH Ngawi memiliki komponen – komponen penting dalam
pengusahaan hasil hutan. Dalam pengusahaannya KPH Ngawi menempuh beberapa tahap
sebelum dapat melakukan proses produksi dari hasil hutan di wilayah KPH Ngawi.
Proses yang
pertama adalah melakukan penanaman, dalam proses penanaman harus memperhatikan
beberapa tahap yaitu memperhatikan luas tanaman, biaya tanaman dan cara
penanaman. Pembuatan tanaman dilaksanakan pada tanah kosong bekas tebangan
habis biasa (tebangan A2) dan tanah kosong bekas tebangan pada lapangan yang
tidak produktif (tebangan B).
Eksploitasi Hutan
Pekerjaan eksploitasi
hasil hutan di wilayah hutan KPH Ngawi dapat dipisahkan menjadi empat tahap
yaitu, persiapan, pelaksanaan tebangan, pengangkutan dan pengaturan hasil hutan
di tempat penimbunan kayu (TPK).
Jenis pekerjaan dalam persiapan tebangan antara lain
adalah pekerjaan teresan, pembuatan blok tebangan, pengukuran diameter dan
penomeran pohon, pembuatan rumah babagan dan sebagainya.
Kegiatan teresan merupakan salah satu rangkaian kegiatan
sebelum penebangan, yaitu dengan mematikan pohon – pohon yang akan ditebang
dengan maksud untuk memperoleh kwalitas produksi batang pohon yang baik serta
memudahkan saat pemungutan dan pengangkutan produksi karena batang pohonnya
telah mati dan kering. Teresan dilakukan khusus untuk Kelas Perusahaan Jati.
Eksploitasi Tenaga
Kerja
Hutan merupakan salah
satu sumber daya alam yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa kepada umat
manusia. Pengelolaan dan pemanfaatan hutan beserta hasilnya seyogyanya
mempertimbangkan asas manfaat dan optimal, dalam arti untuk sebesar – besar
kepentingan rakyat banyak. Selain itu juga harus memperhatikan dan menjaga
kelangsungan fungsi hutan dalam upaya melestarikan lingkungan hidup. Oleh
karena itu dalam proses pemanenan dan pemanfaatan hasil hutan harus menyertakan
masyarakat sekitar hutan dalam pengerjaannya.
Eksploitasi yang
terjadi di KPH Ngawi telah berlangsung dari tahun ke tahun dan memiliki proses
yang hampir sama dalam pengerjaannya. Selama eksploitasi berlangsung komponen –
komponen yang vital dan sangat diperlukan antara lain adalah alat – alat
penebangan, angkutan, biaya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah tenaga
kerja atau pada tahun 1965 ke belakang lebih dikenal dengan sebutan pekerja
Blandong. Tenaga kerja dalam eksploitasi hutan jati di KPH Ngawi secara penuh
menggunakan tenaga dari masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Latar
belakang dari pemakaian tanaga masyarakat sebagai pekerja berawal dari tenaga
kerja yang dipakai dalam pengusahaan hutan di jawa dilakukan dengan sistem
padat karya atau lebih menggunakan tenaga manusia, sehingga dapat menyerap
tenaga kerja yang lebih banyak. Sistem eksploitasi yang dilaksanakan adalah
sistem eksploitasi non mekanis, artinya eksploitasi tidak menggunakan tenaga
mesin, tetapi lebih banyak menggunakan tenaga manusia.
Eksploitasi hutan jati
yang berlangsung di wilayah hutan KPH Ngawi pada tahun 1999 – 2008 menjadi
acuan dalam perencanaan dalam proses eksploitasi pada tahun berikutnya. Seperti
telah disebutkan pada bab – bab sebelumnya bahwa komponen dari eksploitasi itu
sendiri sangat banyak dan memerlukan perencanaan yang matang dalam
pengerjaannya maka, KPH Ngawi juga tidak sembarangan dalam merencanakan segala
sesuatu yang berhubungan dengan eksploitasi. Tenaga kerja yang diperlukan
selama pelaksanaan eksploitasi akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan oleh
KPH Ngawi. Oleh karena itu perincian dalam eksploitasi hasil hutan terutama
hutan jati yang menjadi komoditi KPH Ngawi merupakan komponen yang tidak bisa
dipandang sebelah mata.
Adanya program –
program kehutanan yang berbasis masyarakat di KPH Ngawi tidak menyulitkan KPH
Ngawi untuk mencari tenaga kerja dalam proses eksploitasi. Contohnya adalah
program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Administratur selaku pucuk pimpinan di KPH yang mewakili
KPH Ngawi dan Bupati, wakil dari Pemerintah Kabupaten yang memiliki wilayah
administratif, secara resmi telah menjalin kerjasama yang dituangkan dalam
surat perjanjian PHBM. Pada intinya seua kegiatan diserahkan kepada masyarakat
dalam hal non teknis, sedang rincian dan aturan kegiatan terdapat dalam surat
perjanjian PHBM.
Jumlah tenaga kerja
yang diperlukan selama proses eksploitasi sangat bervariasi menurut jenis
pekerjaannya dan jenis hasil hutan yang dihasilkan. Pekerjaan tersebut
dibedakan menjadi 3 jenis yaitu, tenaga kerja tebang dan pembikinan hasil
hutan, tenaga kerja sarad dan tenaga kerja angkut. Keempat jenis pekerjaan
tersebut memiliki tugas dan upah yang berbeda – beda.
Yang pertama yaitu tenaga kerja tebang, yang bertugas untuk menebang dan
memotong kayu, serta membagi batang kayu kedalam sortimen – sortimen hasil
hutan. Pekerjaan tebang diawasi langsung oleh seorang petugas yang khusus
mengawasi proses tebang pohon yang disebut mandor tebang. Mandor tebang
memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengawasan penebangan hingga pengangkutan.
Teknik yang digunakan dalam penebangan harus diketahui secara baik oleh seorang
mandor tebang. Seperti contoh teknik rebah pohon dan jarak tebang pohon. Upah
yang diberikan selama tebangan tergantung pada kemampuan tenaga kerja untuk
menebang banyaknya pohon dan mengangkutnya ke tempat penampungan – penampungan
hasil hutan.
Berikutnya adalah tenaga kerja untuk pengangkutan yaitu, tenaga kerja
yang bertugas sebagai pengangkut kayu dari tempat tebang ke tempat antara atau
tempat penimbunan sementara (TPS). Tenaga kerja semacam ini biasanya
menggunakan lori dan truk sebagai sarana pengangkutan kayu. Jika di Cepu
pengangkutan kayu habis tebang menggunakan lori yang ditarik oleh lokomotif
atau mesin, berbeda dengan tenaga
penggerak lori yang ada di KPH Ngawi. KPH Ngawi dalam menggunakan sarana
pengangkut kayu dengan lori digerakkan oleh tenaga manusia. Dengan kapasitas
sekali lori dilakukan oleh 4 sampai dengan 6 orang sebagai tenaga penggerak.
Volume atau jumlah kayu yang diangkut dalam satu kali lori sebanyak 5³ kayu
jati. Akan tetapi, dewasa ini pekerjaan eksploitasi dengan menggunakan tenaga
lori dan sarad mulai digantikan dengan alat yang lebih modern dibanding tahun –
tahun sebelumnya. Sebagai tenaga angkut lori sudah tidak diberlakukan lagi mengingat
semakin banyaknya alat transportasi yang
lebih efektif seperti truk, baik truk Perhutani maupun swasta.
Tenaga kerja yang terakhir yaitu, tenaga kerja pembikinan hasil hutan.
Tenaga kerja ini dibayar berdasarkan hasil pekerjaannya dalam pembikinan hasil
hutan. Tenaga kerja dalam proses
eksploitasi memanfaatkan masyarakat desa hutan yang telah ahli dibidangnya.
Berikut ini merupakan data mengenai keterlibatan masyarakat desa hutan dan
jumlah pendapatan yang didapat selama mengikuti program dari Perhutani:
Ksimpulan
Dari
seluruh uraian yang dipaparkan dalam studi ini, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa Kesatuan Pemangkuan Hutan Ngawi merupakan salah satu KPH memiliki areal
hutan yang luas dan telah ditetapkan sebagai hutan produksi atau Kelas Perusahaan
Jati ( tectona grandis ).
Eksploitasi di KPH
Ngawi telah berlangsung lama dan memiliki sejarah yang panjang dalam prosesnya,
khususnya pada tahun 1999 – 2008. Adanya Undang – Undang baru tentang kehutanan
yaitu, Undang – Undang Kehutanan No.41 Tahun 1999 menjadikan sistem pengelolaan
hutan di Jawa khususnya menjadi berubah.
KPH Ngawi dalam melakukan eksploitasi memanfaatkan
tenaga kerja yang berasal dari masyarakat karena sebagian besar hutan yang
dimiliki oleh KPH Ngawi merupakan hutan yang disekitarnya terdapat desa – desa
hutan tempat tinggal masyarakat sekitar. Oleh karena itu untuk lebih efisen KPH
Ngawi memanfaatkan tenaga dari masyarakat sekitar hutan untuk melakukan
pekerjaan hutan dan sebagian dari mereka merupakan pekerja ahli dalam bidang
pekerjaan hutan.
|
Pekerjaan
yang diberikan kepada masyarakat desa hutan telah mendatangkan manfaat yang
besar dalam bidang ekonomi. Setiap pekerjaan yang diberikan oleh Perhutani Ngawi
memiliki upah yang berbeda – beda yang disesuaikan dengan tingkat kesulitan
pekerjaannya. Berbagai penyuluhan yang diberikan oleh KPH Ngawi dalam rangka
menjaga kelestarian hutan seperti memberikan pengetahuan kepada masyarakat
sekitar hutan dalam hal tanaman dan pemanfaatannya tanpa harus merusak
lingkungan.
Dampak
dari pengusahaan hutan yang dilakukan oleh KPH Ngawi telah menimbulkan pengaruh
positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah masyarakat diberikan ijin untuk
menggunakan lahan di tegakan jati muda dengan menanam tanaman sela atau
tumpangsari. Sedangkan pengaruh negatifnya adalah kurang memahami tentang
aturan penanaman tanaman sela yang benar dan akibatnya dapat merusak tanaman
pokok yaitu jati, terjadinya banjir dan tanah longsor karena menurunnya fungsi
hutan. Selain itu karena tingkat pendapatan yang cenderung statis sedangkan
kebutuhan meningkat membuat masyarakat di sekitar hutan melakukan pencurian
kayu di hutan tanpa memperhatikan akibatnya.
KPH
Ngawi telah berupaya untuk menanggulangi segala dampak negatif yang mungkin
terjadi selama pengelolaan hutan terlebih dalam proses eksploitasi. Akibat
eksploitasi hutan akan meninggalkan lahan kering yang menyebabkan erosi. Selain
itu akibat penjarahan hutan pada tahun 1997 hingga 2003 di bagian hutan
Ngandong telah membawa dampak kerusakan lingkungan yang cukup parah di wilayah
hutan KPH Ngawi. Oleh sebab itu Perhutani KPH Ngawi telah memberikan solusi
guna menanggulangi dampak tersebut dengan menanam tegakan baru dengan tehnik
dan metode yang berlaku di bidang kehutanan agar keseimbangan alam tidak
terganggu. Selain itu tujuan dari Perhutani KPH Ngawi adalah untuk mewujudkan
hutan lestari dan menjadi pengelola hutan lestari
untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar